Quantcast
Channel: Ibnu Abbas As-Salafy Kendari
Viewing all 750 articles
Browse latest View live

Jika Imam Membaca Qunut Shubuh

$
0
0

Jika Imam Membaca Qunut ShubuhBagaimana hukumnya orang yang menjadi makmumnya ahlul bid’ah? Apakah diperbolehkan seseorang mendirikan shalat berjamaah di asrama, dengan alasan masjid terdekat dari asrama imam rawatibnya biasanya melakukan ritual bid’ah sedangkan masjid yang lain jaraknya jauh? Misalnya, jika kita berkeyakinan bahwa qunut subuh adalah suatu bid’ah, maka bagaimana hukumnya jika kita menjadi makmumnya imam yang selalu mengamalkan qunut subuh, apakah boleh? Jazakallahu khairan

Abu Abdirrahman
Alamat: Jl. Mulyosari, Surabaya
Email: emailkuxxxx@yahoo.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:

Pertama, shalat wajib berjama’ah di masjid hukum asalnya adalah wajib sebagaimana telah dijelaskan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,Lc. Hafizhahullah pada artikel Hukum Shalat Berjama’ah Wajib Ataukah Sunnah.

Kedua, sebagaimana telah diketahui penanya bahwa membaca doa qunut pada shalat shubuh secara rutin adalah perkara baru dalam agama. Meskipun memang sebagian Syafi’iyyah dan Malikiyyah menganggapnya disyariatkan. Penjelasan mengenai hal ini cukup panjang, namun ringkasnya, pendapat yang benar adalah bahwa hal tersebut termasuk perkara baru dalam agama dengan alasan berikut:

  1. Praktek membaca Doa Qunut yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam berdasarkan banyak hadits adalah Qunut Nazilah, yaitu doa Qunut yang dibaca karena adanya musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam mempraktekan hal tersebut tidak hanya pada shalat shubuh, namun pernah dilakukan pada seluruh shalat fardhu. Dan beliau tidak merutinkan membaca doa Qunut pada shalat shubuh meskipun memang praktek Qunut Nazilah yang beliau lakukan paling sering dilakukan ketika shalat shubuh. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:

    وكان هديه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القنوت في النوازل خاصة ، وترْكَه عند عدمها ، ولم يكن يخصه بالفجر، بل كان أكثر قنوته فيها

    “Petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam dalam masalah Qunut adalah hanya melakukannya jika terjadi nazilah (musibah besar) saja. Dan tidak melakukannya jika tidak ada nazilah. Tidak pula mengkhususkannya pada shalat shubuh, walaupun memang beliau paling sering membaca Qunut Nazilah ketika shalat shubuh (Zaadul Ma’ad, 1/273)”

  2. Terdapat hadits shahih dari Abu Malik bin Sa’id Al Asy-ja’i yang tegas menunjukkan bahwa membaca qunut pada shalat shubuh secara rutin tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat:

    عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

    Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
    Dalam lafadz Ibnu Majah:

    قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ

    Abu Malik berkata: ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di kufah selama kurang lebih 5 tahun. Apakah mereka membaca qunut di shalat shubuh?’. Ayahku berkata: ‘Wahai anakku, itu perkara baru dalam agama’

  3. Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam membaca qunut di shalat shubuh hingga wafatnya, telah dijelaskan oleh para ulama bahwa bukan lah maknanya merutinkan qunut, jika dilihat dari praktek beliau.

    وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ { مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ : فَفِيهِ مَقَالٌ ، وَيُحْتَمَلُ : أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ : طُولَ الْقِيَامِ ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى قُنُوتًا

    “Adapun hadits ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam selalu qunut di shalat shubuh sampai berpisah dengan dunia‘ Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya. Tentang makna Qunut di sini terdapat beberapa pendapat. Dan nampaknya maknanya adalah beliau shalat shubuh dengan waktu berdiri yang lama. Oleh karena itu dalam bahasa arab disebut juga Qunut” (Syarhu Muntahal Iradat, 45/2)

Ketiga, mengenai shalat dibelakang imam yang melakukan bid’ah, selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maka persoalan ini dibagi menjadi 2 bagian:

1. Bolehkah dan sahkah shalatnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami bawakan nasehat yang bagus dari Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali:
“Jika imam membaca doa qunut di shalat shubuh, maka ikutilah dia. Walau anda sebagai ma’mum berpendapat berbeda. Bahkan jika anda sebagai ma’mum menganggap shalat sang imam itu tidak sah menurut mazhab anda, namun sah menurut mazhab sang imam, anda tetap boleh berma’mum kepadanya. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan demikian, beliau bersabda:

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أخطؤوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Shalatlah kalian bersama imam, jika shalat imam itu benar, kalian mendapat pahala. Jika shalat imam itu salah, kalian tetap mendapat pahala dan sang imam yang menanggung kesalahnnya” (HR. Bukhari no.662)
Jika demikian, maka anda tetap boleh shalat bersama imam tersebut.

Demikian juga yang dipraktekan oleh para salaf. Suatu ketika Khalifah Harun Ar Rasyid pergi berhaji lalu singgah di Madinah, kemudian berbekam. Kemudian ia bertanya kepada Imam Malik: “Aku baru berbekam, apakah aku boleh shalat tanpa wudhu lagi?”. Imam Malik menjawab: “Boleh”. Maka beliau pun mengimami shalat tanpa berwudhu lagi.

Karena menurut mazhab Maliki Hanafi, bekam dapat membatalkan wudhu, orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf Al Hanafi: “Bagaimana mungkin aku shalat bermakmum pada Khalifah Harun Ar Rasyid padahal ia belum berwudhu??”. Abu Yusuf berkata: “Subhanallah… Ia Amirul Mu’minin!”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memiliki pendapat dalam hal ini: “Jika anda bermakmum pada imam yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda dalam masalah sah atau tidaknya shalat. Lalu anda berpendapat bahwa shalat yang dilakukannya itu tidak sah, namun ia memiliki hujjah dan dalil bahwa shalat yang ia lakukan sudah sah, maka anda boleh bermakmum kepadanya. Kecuali jika sang imam menegaskan bahwa ia belum berwudhu, misalnya ia berkata: ‘Saya belum berwudhu dan saya akan shalat tanpa wudhu’. Maka shalatnya tidak sah bagi si imam dan tidak sah pula bagi anda”.
[Sampai di sini perkataan Syaikh Rabi’, dinukil dari http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=208]

Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya juga membuat bab:

باب إِمَامَةِ الْمَفْتُونِ وَالْمُبْتَدِعِ وَقَالَ الْحَسَنُ صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ

“Bab berimam kepada orang yang terkena fitnah atau mubtadi. Dan Al Hasan berkata: ‘Shalatlah bermakmum kepada mereka, sedangkan bid’ah yang mereka lakukan biarlah mereka yang menanggung’”. Perlu diketahui fiqih Imam Al Bukhari terdapat pada judul-judul babnya.

Ringkasnya, anda boleh shalat dibelakang imam yang melakukan kesalahan dalam shalat semisal membaca doa qunut dalam shalat shubuh atau semacamnya, selama kesalahan tersebut bukan kesalahan yang secara ijma ulama dapat membatalkan shalat, seperti tidak berwudhu. Namun tetap disarankan untuk mencari masjid yang imamnya sesuai atau lebih mendekati sunnah jika memungkinkan.

2. Apa yang harus dilakukan?
Jika seseorang bermakmum dibelakang imam yang membaca doa qunut pada shalat shubuh, yang merupakan bid’ah, apakah ia ikut membaca doa bersama imam? Ataukah diam saja? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.

Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):

وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ

“Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”

Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض

“Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”

Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:

فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْ خَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .

“Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah

Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:

وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولا يتابعه

“Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia diam”

Namun perkara ini adalah perkara khilafiah ijtihadiyah, anda dapat memilih pendapat yang menurut anda lebih mendekati kepada dalil-dalil yang ada. Wallahu Ta’ala A’lam, kami menguatkan pendapat pertama, yaitu mengikuti imam berdoa qunut mengingat hadits tentang perintah untuk mengikuti imam meskipun imam melakukan kesalahan selama tidak disepakati oleh para ulama kesalahan tersebut dapat membatalkan shalat, sebagaimana telah dibahas di atas.

Yang terakhir, perlu dicamkan bahwa dalam keadaan ini anda tetap berkewajiban untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Sebagaimana solusi yang disarankan oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta:

فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ما ذكر في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد لله ، وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على السنة ، وإن لم يسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ صحيحةٌ على كل حال .

“Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah. Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)

Wabillahi At Taufiq.

——-

Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com

disalin ulang oleh admin dari: https://kangaswad.wordpress.com


Filed under: Bid'ah, Fiqih, Sholat, Tanya Jawab

Hukum Memelihara Jenggot

$
0
0

mencukur-jenggotOleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah memelihara jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya berdosa atau hanya merusak Dien? Apakah mencukurnya hanya boleh bila dsiertai dengan memelihara kumis?

Jawaban
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

خَالِفُواالْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُواالشَّوَارِبَ وَأَوْفُوااللِّحَى

“Artinya : Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis (hingga habis) dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh lebat,-peny)’ [1]

Di dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “(artinya) : Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang, selisihilah orang-orang Majusi” [2]

Imam An-Nasai di dalam sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ لَمْ يَأْ خُذْ مِنْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا

“Artinya : Barangsiapa yang tidak pernah mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami” [3]

Al-Allamah besar dan Al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Para ulama telah besepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu (wajib)”

Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong habis kumis dan memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.

Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma oleh Ibnu Hazm diketahui jawaban terhadap ketiga pertanyaan diatas, ulasan ringkasnya ; bahwa memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan sebab Rasulullah memerintahkan demikian sementara perintahnya mengandung makna wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala.

وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Artinya : Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7]

Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya akan tetapi memotong habis adalah lebih afdhal (utama), sedangkan memperbanyak atau membiarkannya begitu saja, maka tidak boleh hukumnya karena bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : قصوا الشوارب “Potonglsh kumis”, أحفوا الشوارب“ Potonglah kumis sampai habis”, جزوا الشوارب “Potonglah kumis”, من لم يأخذ من شاربه فليس منا “Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya) maka dia bukan termasuk dari golongan kami”

Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal ini kemudian mengandung konsekuensi wajibnya seorang muslim berhati-hati terhadap larangan Allah dan RasulNya dan bersegera menjalankan perintah Allah dan RasulNya.

Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan memotongnya termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya kemurkaan Allah dan azab-Nya.

Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan menyerupai orang-orang majusi dan orang-orang musyrik padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan yang munkar, tidak boleh dilakukan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” [4]

Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan.

Wallahu waliyyut taufiq Washallahu wa sallam ‘ala Nabiyyina Muhamad wa alihi wa shahbih.

[Kumpulan fatwa-fatwa, juz III, hal.362-363]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc] Almanhaj
_______
Footnote
[1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Libas (5892, 5893), Shahih Musim, kitab Ath-Thaharah (259).
[2]. Shahih Muslim, kitab Ath-Thaharah (260)
[3]. Sunan At-Turmudzi, kitab Al-Adab (2761), Sunan An-Nasai, kitab Ath-Thaharah (13) dan kitab Az-Zinah (5047)
[4]. Sunan Abu Daud, kitab Al-Libas (4031), Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)


Filed under: Fatwa Ulama, Fiqih, Sunnah, Tanya Jawab

Khutbah Idul Fitri: Istiqomah Setelah Ramadhan

$
0
0

Khutbah Pertama:

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، ولله الحمد، الله أكبر كلما أفاضَ الربُّ على الخلق من الخيرات، الله أكبر كلما تجاوزَ عن السيئات، الله أكبر كلما رفعَ السائِلون أيديهم إلى الله بأنواع الحاجات، الله أكبر عدد ما أعدَّ الله للصائمين من قُرَّة أعينٍ في الجنات، الله أكبر رِضا نفسه، وزِنةَ عرشه، ومِدادَ كلماته، وعددَ خلقه.

وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له المُلك وله الحمدُ، وأشهد أن نبيَّنا وسيِّدَنا محمدًا عبده ورسوله أفضلُ من صلَّى وصام، ووفَّى كلَّ مقامٍ لربِّه من التعبُّد، اللهم صلِّ وسلِّم وبارِك على عبدِك ورسولِك محمدٍ، وعلى آله وصحبِه الذين فازُوا بالسَّبق إلى الطاعات والتفرُّد.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Ibadallah,

Khotib berwasiat kepada diri pribadi dan jamaah sekalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah dalam setiap waktu. Karena kita tidak akan mampu mencapai kebaikan di dunia dan di akhirat kecuali dengan ketakwaan.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Quran Al-Baqarah: 197].

Kaum muslimin,

Sekarang kita berada di Hari Raya Idul Fitri. Hari ini dinamakan “Yaumun Jawa-iz”. Yakni hari pemberian balasan atau pemberian hadiah. Pada hari ini, pahala dan ganjaran orang-orang yang berbuat kebaikan dicukupkan. Allah Ta’ala mengampuni dosa. Melindungi hamba-hamba-Nya dari siksa. Pena-pena pencatat di bulan Ramadhan telah diangkat. Lembaran-lembarannya telah mengering dengan catatan-catatan amal yang kita isi. Jika kita mengisinya dengan kebaikan, maka catatan yang berisi adalah kebaikan. Jika kita isi dengan keburukan, maka isinya pun keburukan.

Allah, Rabb kita Yang Maha Penyayang memberi kabar gembira kepada orang-orang yang taat. Dan Dia tidak membuat orang-orang yang bermaksiat putus asa dari kasih sayang-Nya. Mereka bisa mengharap rahmat-Nya dengan taubat di bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.

Wahai orang-orang yang berbuat kebajikan, istiqomahlah. Wahai orang-orang yang berlaku buruk, berhentilah. Janganlah tertipu dengan kehidupan dunia ini. Karena kehidupan dunia ini hanyalah hiasan. Akan hilang masa-masa indahnya. Akan sirna kenikmatannya. Keadaannya senantiasa silih berganti. Kebahagiaannya tidak langgeng. Dan seseorang tidak pernah selalu berada dalam posisi dalam kehidupan dunia ini. Adapun akhirat adalah tempat yang kekal. Kenikmatannya langgeng. Dan adzabnya adalah adzab yang pedih.

Hari Id ini adalah hari dimana Anda mendapatkan kabar gembira dengan kebaikan yang banyak. Dari Saad bin Aus al-Anshari, dari ayahnya radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

قال رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: «إذا كان يومُ عيد الفِطر وقفَت الملائكةُ على أبوابِ الطُّرق، فنادَوا: اغدُوا يا معشر المُسلمين إلى ربٍ كريمٍ، يمُنُّ بالخير ثم يُثيبُ عليه الجَزيل، لقد أُمِرتم بقيام الليل فقُمتُم، وأُمِرتم بصيام النهار فصُمتُم، وأطعتُم ربَّكم فاقبِضُوا جوائِزَكم. فإذا صلَّوا نادَى مُنادٍ: ألا إن ربَّكم قد غفرَ لكم، فارجِعوا راشِدين إل رِحالِكم، فهو يومُ الجائِزة، ويُسمَّى ذلك اليومُ في السماء: “يوم الجائِزة”»؛ رواه الطبراني في “المعجم الكبير”.

“Saat pagi hari raya Idul Fithri, malaikat berdiri di pinggir-pinggir jalanan seraya menyeru: “Berangkatlah kalian wahai kaum muslimin, menuju Allah Rabb Yang Maha Pemurah, yang senantiasa memberikan anugerah berupa pertolongan menjalankan kebaikan sekaligus memberikan pahala besar atas kebaikan tersebut.

Sungguh benar-benar kalian diperintahkan melakukan shalat malam dan kalian menjalankannya. Kalian diperintah berpuasa pada siang hari, lalu kalian pun berpuasa dan taat kepada Rabb kalian, maka terimalah balasan pahala kalian!” Ketika kaum muslimin telah usai melaksanakan shalat Id, maka ada malaikat yang menyeru: “Ingatlah, sesungguhnya Rabb kalian telah mengampuni kalian. Kembalilah ke rumah-rumah kalian dengan hati yang senang. Ini adalah hari al-Jaizah. Dan di langit juga dinamakan demikian.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا كان يوم عيد الفطر هبطت الملائكة إلى الأرض في كل بلد فيقفون على أفواه السكك ينادون بصوت يسمعه جميع خلق الله إلا الجن والإنس يا أمة محمد اخرجوا إلى رب كريم يعطي الجزيل ويغفر الذنب العظيم فإذا برزوا إلى مصلاهم قال الله تعالى : “يا ملائكتي ما جزاء الأجير إذا عمل عمله فيقولون : إلهنا وسيدنا أن توفيه أجره ، فيقول عز وجل : أشهدكم أني قد جعلت ثوابهم من صيامهم وقيامهم رضاي ومغفرتي ، ويقول : سلوني فوعزتي وجلالي لا تسألوني اليوم شيئا في جمعكم هذا لآخرتكم إلاّ أعطيتكموه ولا لدنياكم إلا نظرت لكم، انصرفوا مغفوراً لكم، قد أرضيتموني ورضيت عنكم. (حديث مرفوع خرجه سلمة بن شبيب في كتاب فضائل رمضان وغيره)

“Saat hari raya Idul Fitri, malaikat turun ke bumi di setiap negeri. Mereka berhenti di sana seraya berseru yang suaranya didengar oleh seluruh makhluk kecuali jin dan manusia, “Wahai umat Muhammad, keluarlah kalian menuju Rabb Yang Maha Mulia. Yang memberikan ganjaran dan mengampuni dosa yang besar.

Apabila kaum muslimin telah sampai pada tempat sholat mereka, Allah berfirman, “Wahai malaikatku, apakah ganjaran bagi orang apabila telah selesai dari pekerjaannya?” Malaikat menjawab, “Tuhan kami, tentu ia diberikan upahnya”. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Saksikanlah bahwa Aku memberikan ganjaran dari puasa dan sholat mereka dengan keridhoan dan ampunan-Ku.”

Kemudian Allah berfirman, “Mintalah dengan kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, tidaklah kalian meminta sesuatu pada hari ini untuk akhirat kalian kecuali Aku berikan untuk kalian. Dan tidaklah untuk perihal dunia kalian kecuali Aku perlihatkan untuk kalian. Pulanglah dengan ampunan untuk kalian. Kalian telah membuat-Ku ridho dan Aku telah ridho pada kalian.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Shalat Id adalah wujud dari sempurnanya ketaatan. Idul Fitri sendiri hadir setelah sempurnanya puasa. Sedangkan Idul Adha hadir setelah sempurnanya rukun haji. Kaum muslimin pada hari ini menikmati sesuatu yang baik dan yang Allah halalkan. Dengan shalat, syariat telah memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh badan. Dengan badan yang sehat akan membantu dalam mengerjakan amalan ketaatan. Badan yang sehat akan membantu manusia menjalankan peranannya dalam kehidupan. Demikian juga dengan ruh. Syariat telah memberikan tuntunan yang dapan mensucikannya dan menguatkannya. Yaitu dengan melakukan amalan-amalan wajib dan sunat.

Di hari kemarin, diharamkan pada kaum muslimin di siang hari: makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa. Pada hari ini kita wajib berbuka, yaitu makan. Dari Abu Said radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Hari menyembelih.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Kaum muslimin yang semoga senantiasa mendapatkan kebaikan dan keberkahan,

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan setelah usai menunaikan ibadah di bulan Ramadhan kemarin. Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah tentang diterima atau tidaknya amalan kita. Orang-orang shaleh sebelum kita, sangat khawatir amalan ibadah mereka tidak diterima. Mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima. Permohonan itu mereka lakukan bukan hanya satu atau dua hari, tapi hingga enam bulan setelah usai bulan Ramadhan mereka terus memohon kepada Allah agar amalan Ramadhan mereka diterima.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60).

Ayat di atas, kata Syaikh As-Sa’di rahimahullah menceritakan tentang orang-orang yang melakukan shalat, zakat, haji dan sedekah serta amalan lainnya, namun hati mereka dalam keadaan takut. Mereka khawatir dengan amalan mereka ketika dihadapkan di hadapan Allah, bisa jadi amalan mereka tidak selamat dan malah mendapatkan siksa-Nya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 583)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud dalam ayat di atas, apakah mereka itu melakukan zina, mencuri dan minum minuman keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لاَ يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِى الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Tidak wahai binti Ash-Shiddiq (puteri Abu Bakr Ash-Shiddiq, pen.). Akan tetapi, mereka itu rajin puasa, shalat dan sedekah. Namun mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itu adalah orang-orang yang bersegera dan terdepan dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi, no. 3175; Ibnu Majah, no. 4198. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Karena Allah Ta’ala menyatakan,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27).

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala

Berikutnya, hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana agar tetap istiqomah usai Ramadhan. Karena muslim yang hakiki adalah yang senantiasa menjaga ketakwaannya sepanjang umurnya. Mukmin yang benar adalah mukmin yang menjaga amalnya dengan taat pada Allah dan menjauhi maksiat dan larangan Allah. Ia terus menjaga iman dan takwanya tadi sampai maut menjemputnya. Walaupun bulan Ramadhan telah usai, tapi hak Allah atas kita belum usai hingga ajal menjemput kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” [Quran Al-Hijr: 99]

Allah adalah Rabb pemiliki dan penguasa di bulan Ramadhan. Dia juga memiliki dan menguasai bulan-bulan lainnya. Karena itu tetaplah menjaga ketaatan. Apa yang sudah Anda biasakan di bulan Ramadhan jangan Anda tinggalkan begitu saja. Anda telah merajut rapi benang-benang hingga menjadi sesuatu yang indah, jangan Anda rusak tenunan yang telah susah payah Anda buat. Allah Ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثًا

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” [Quran An-Nahl: 92].

Seorang hamba diperintahkan menjauhi apa yang dilarang oleh Rabbnya. Dia memerintahkan pada sesuatu yang maslahat. Dan melarang segala hal yang berbahaya, merusak, dan membinasakan. Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim).” [Quran Al-Qiyamah: 36-37].

Maksudnya, apakah manusia mengira kami menciptakan mereka tanpa perintah dan larangan? Kemuliaan seorang hamba adalah dengan menaati tuannya. Keberhasilan, kebaikan, dan kebahagiaannya terdapat pada beribadah kepada Allah.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Keadaan seseorang setelah Ramadhan itu ada dua macam:

Lebih baik dari sebelum Ramadhan. Ia jadi orang yang kembali pada Allah, semangat dalam kebaikan, semangat dalam ibadah, rutin menghadiri shalat Jumat dan jamaah, terus istiqamah dan menjauhi maksiat, itu tanda amalannya diterima.

Keadaannya sama dengan sebelum Ramadhan. Walaupun taruhlah Allah menerima amalannya di bulan Ramadhan, namun ia balik ke belakang lagi dengan cepat, ia kembali lagi bermaksiat, ia tinggalkan ibadah, ia terjang larangan Allah, ia lalaikan shalat, hingga senang kembali melakukan maksiat dengan pendengaran, penglihatan, anggota badan, perkataan, perbuatan dan hartanya; orang semacam ini sebenarnya semakin jauh dari Allah. Wal ‘iyadzu billah.

Perhatikan perkataan dari Ka’ab,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ هُوَ يُحَدِّثُ نَفْسَهُ إِذَا أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يَعْصِ الله دَخَلَ الجَنَّةَ بِغَيْرِ مَسْأَلَةٍ وَ لاَ حِسَابٍ وَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ هُوَ يُحَدِّثُ نَفْسَهُ إِذَا أَفْطَرَ عَصَى رَبَّهُ فَصِيَامُهُ عَلَيْهِ مَرْدُوْدٌ

“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan terbetik dalam hatinya, nantinya ba’da Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia bertekad tidak akan bermaksiat pada Allah, maka ia akan masuk surga tanpa masalah, tanpa dihisab. Namun siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan ia terbetik dalam hatinya ba’da Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia akan bermaksiat pada Allah, maka puasanya tertolak.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 390)

Intinya, jangan jadikan ibadah hanya pada bulan Ramadhan saja.

Di antara salaf, ada yang bernama Bisyr pernah menyatakan,

بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ الصَّالِحَ الَّذِي يَتَعَبَّدُ وَ يَجْتَهِدُ السَّنَةَ كُلَّهَا

“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Ingat, orang yang shalih yang sejati adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang tahun.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 390)

Beribadahlah sampai mati.

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu kematian.” (QS. Al-Hijr: 99).

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa Allah tidak menjadikan batasan waktu untuk beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 392)

Dalam Kitab Tafsirnya (4: 666), Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa ayat di atas jadi dalil bahwa ibadah seperti shalat dan lainnya, wajib dijalankan oleh setiap orang selama akal masih ada. Apa pun keadaannya, ia tetap shalat.

Dalam hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari ‘Imran bin Hushain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, shalatkan dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, shalatlah dengan tidur menyamping.” (HR. Bukhari, no. 1117).

Demikian khutbah pertama ini.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

أَحْمَدُ رَبِّي وَأَشْكُرُهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَنَا مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Bagaimana kita bisa istiqamah dalam beramal bada Ramadhan?

Pertama: Perbanyak doa minta istiqamah seperti,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” (HR. Tirmidzi, no. 2140; Ibnu Majah, no. 3834. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kedua: Kumpul dengan teman-teman yang shalih yang mengantarkan pada kebaikan.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28). Dalam ayat ini ada perintah untuk berteman dengan orang shalih.

Karena berkumpul dengan orang shalih, hati akan menjadi tenang. Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,

نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ

“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.” (Siyar A’lam An- Nubala’, 8: 435).

Di antara cara agar bertemu dengan orang-orang shaleh adalah tetap menjaga shalat lima waktu di masjid. Menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid. Pengajian-pengajian yang di dalamnya dibahas Alquran dan hadits-hadits Rasulullah.

Ketiga: Beribadah yang ajeg walau sedikit, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai di sisi Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walau jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 5861 dan Muslim, no. 782, 783). Aisyah setiap kali beramal, ia konsekuen untuk menjaga amalannya rutin.

Kita bisa menjaga terus amalan kita di bulan Ramadhan seperti shalat malam dan baca Al-Qur’an. Walau nanti intensitasnya berkurang yang penting bisa rutin dijaga.

Marilah kita tutup khutbah ied kali ini dengan doa, moga Allah perkenankan setiap doa-doa kita di hari yang penuh berbahagia ini.

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ

اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعَمِكَ مُثْنِينَ بِهَا عَلَيْكَ، قَابِلِينَ لَهَا، وَأَتِمِمْهَا عَلَيْنَا

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْىِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
عِيْدُكُمْ مُبَارَكٌ وَعَسَاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ
كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel http://www.KhotbahJumat.com


Filed under: Khutbah 'Ied, Lebaran, Nasehat

Hukum Shalat di Belakang Imam Yang Bertalhin Dalam Bacaan Al-Qur’an

$
0
0

shalat berjamaah copyOleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang imam yang suka ber-talhin (tidak sesuai ilmu tajwid) dalam bacaan Al-Qur’an dan terkadang menambah dan mengurangi huruf-huruf ayat Al-Qur’an. Apa hukum shalat bermakmum kepadanya ?

Jawaban.
Bila lahn-nya tidak merubah makna (ayat) maka tidak apa-apa shalat bermakmum kepadanya, seperti me-nashab-kan kata Rabba atau me-rofa-kannya (Rabbu) di dalam Alhamudlillahi Rabbil Alamin, begitu juga jika me-nashab-kan kata Ar-Rahman atau me-rofa-kannya dan lain-lain. Adapun bila menyebabkan perubahan makna, maka tidak (boleh) shalat bermakmum kepadanya jika orang itu tidak mengambil manfaat dengan belajar atau diberi tahu (bacaan salahnya) seperti membaca iyyaka na’budu dengan kaf di-kasrah (iyyaki) dan sepeti membaca an-‘amta dengan di-kasrah atau di-dhammah huruf ta-nya.

Bila dia menerima arahan dan memperbaiki bacaannya dengan cara diberitahu oleh makmum, maka shalat dan bacaannya itu sah.

Yang jelas, setiap muslim dalam semua keadaan disyari’atkan mengajari saudaranya, baik dalam shalat atau di luar shalat, karena seorang muslim merupakan saudara muslim lainnya. Dia mengarahkannya bila salah dan mengajari bila bodoh dan membetulkan bacaannya bila terjadi kekeliruan.

[Fatwa Ibnu Baz Kitab Ad-Da’wah- (Al-Fatawa 1/57)]

[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq] Almanhaj


Filed under: Fatwa Ulama, Fiqih, Sholat, Tanya Jawab

Download Audio: Bedah Buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf” Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas

$
0
0

salafi-ahlu-sunnah-jamaahAllah Yang Mahamulia telah menurunkan kitab-Nya yang mulia melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam yang mulia kepada Rasul-Nya yang mulia Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan – jalan (yang lain) yang akan mencerai – beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-An’am:153)

Download:

Mulia dengan Manhaj Salaf 1

Mulia dengan Manhaj Salaf 2

Sumber:  maramissetiawan.wordpress.com

——

Ringkasan Buku Mulia dengan Manhaj Salaf

Prinsip Terpenting Manhaj Salaf dalam Aqidah:

  1. Sumber Aqidah adalah Kitabullah (Al-Qur-an), Sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang shahih dan Ijma’ Salafush Shalih
  2. Menjadikah Sunnah yang shahih sebagai hujjah yang mutlak
  3. Memahami Nash-nash syar’i berdasarkan perkataan ulama salaf, Tafsir Mereka, dan Pendapat yang dinukil dari mereka
  4. Menerima wahyu sepenuhnya dan mempergunakan akal menurut fungsi yang sebenarnya serta tidak melampaui batas dalam perkara-perkara ghaib yang tidak dapat dinalar oleh Akal
  5. Menggabungkan (Mengkorelasikan) semua dalil yang ada dalam satu permasalahan
  6. Mengimanai ayat-ayat yang mutasyabih dan mengamalkan ayat yang muhkam
  7. Tidak mendalami ilmu kalam dan tidak mengikuti takwil ahli kalam

Sifat-sifat yang dengan nya seorang muslim berhak dikatakan Salafi:

  1. Berhukum dengan AlQur’an dan Sunnah dalam semua sisi kehidupan nya
  2. Berpegang pada penjelasan dari para Shahabat tentang setiap permasalahan agama secara umum dan lebih khusus lagi mengambil penjelasan mereka dalam masalah aqidah dan manhaj
  3. Tidak memperdalam masalah yang tidak dapat dinalar oleh akal
  4. Memperhatikan Tauhid Uluhiyah
  5. Tidak berdebat dan tidak bermajelis dengan ahlul bid’ah, tidak mendengarkan perkataan mereka atau membantah syuhbat-syubhat mereka, ini adalah jalan para Salafush Shalih
  6. Bersemangat dan bersungguh-sungguh menyatukan jamaah dan kalimat kaum muslimin di atas AlQur’an dan Assunnah menurut pemahaman Salaf
  7. Menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shalllahualaihiwasallam dalam ibadah, akhlah, dan semua sisi kehidupan sehingga mereka menjadi orang-orang yang terasing di tengah-tengah kaumnya
  8. Tidak fanatik melainkan kepada firman ALLAH tabaraka wata’ala dan sabda Rasul Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak berkata dari hawa nafsu nya
  9. Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar
  10. Membantah setiap orang yang menyelisihi manhaj salaf, baik Muslim maupun kafir, setinggi dan serendah apapun kedudukannya, baik menyelisihnya dengan sengaja maupun karena kesalahan, dan hal itu tidak termasuk menjelekkan dan menganggap rendah, tetapi termasuk nasihat dan kasih sayang terhadap orang yang dibantah
  11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari ulama-ulama islam yang mendasari dakwah nya yang dimulai di atas manhaj Ahlu Sunnah sehingga kesalahan nya itu termasuk ijtihad yang diberikan satu ganjaran sedang kesalahannya ditolak dan antara kesalahan-kesalahan para da’i penyeru bid’ah dari orang-orang yang mendasari dakwah mereka yang tidak dimulai dari manhaj Ahlu Sunnah sehingga kesalahan mereka terhitung sebagai perbuatan bid’ah
  12. Taqarrub (mendekatkan diri) kepada ALLAH dengan cara mentaati orang yang telah dijadikan ALLAH ta’ala sebagai ulil amri (pemimpin) bagi kita, tidak memberontak kepada mereka, mendo’akan mereka dengan kebaikan dan keselamatan, dengan tetap menasihati nya secara jujur
  13. Hikmah dalam berdakah mengajak kepada jalan ALLAH
  14. Memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu yang bersumber dari AlQur’an, Assunnah, dan atsar Salaful Ummah serta mengamalkannya dan meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi baik kecuali jika mereka memperhatikan ilmu dan amal shalih
  15. Bersemangat melkukan Tashfiyah (pemurnian) dalam setiap bidang agama dan Tarbiyah (mendidik) generasi di atas ajaran yang telah dibersihkan tersebut

Prinsip-prinsip dakwah salafiyah:

  1. Kembali kepada AlQur’an dan Assunnah menurut pemahaman Salafus Shalih
  2. Berdakwah kepada Tauhid dan mengikhlaskan amal semata-mata karena ALLAH
  3. Dakwah Ahlu Sunnah Salafiyyin mengajak ummat islam untuk beribadah kepada Allah dengan benar
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya syirik dan berbagai bentuk nya
  5. Berdakwah kepada ittiba’ (Mengikuti sunnah Rasulullah) dan memerangi taklid buta
  6. Memerangi bid’ah dan beragam pemikiran dari luar islam yang masuk ke dalam nya
  7. Menuntut ilmu syar’i
  8. Tashfiyah dan Tarbiyah
  9. Akhlaq dan Takziyatun Nufus
  10. Memperingatkan kaum muslimin dari bahaya hadis-hadis lemah, palsu, dan mungkar
  11. Memerangi hizbiyah dan fanatik golongan
  12. Berusaha mewujudkan kehidupan islami dan menegakkan hukum ALLAH di muka bumi.

sumber : http://fuad.wordpress.com/2012/09/29/ringkasan-buku-mulia-dengan-manhaj-salaf/

——-

Download Mulia Dengan Manhaj Salaf Pdf >> http://urlin.us/3u9w9

Audio MP3 ceramah agama Islam, hasil konversi dari video tabligh akbar bersama Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas di Masjid Jami’ Al Mu’min, Jl. Pulau Sangiang no. 14, Kel. Sukarame, Kec. Sukarame, Bandar Lampung pada Ahad, 22 Dzulqa’dah 1436 H / 6 September 2015, pukul 09.00 s.d. 11:50 WIB. Sebuah tabligh akbar yang mengangkat tema ilmiah sekaligus manhajiyyah, yaitu “Mulia dengan Manhaj Salaf”, di mana sekaligus menjadi sebuah judul buku karya sang pemateri hafidzahullah. Mari simak audio ceramah ini demi semakin memperdalam keilmuan kita terhadap agama Islam yang mulia ini.

 Ceramah dan Tanya Jawab Download Audio Mp3 >  (27,4 Mb) 

 

 


Filed under: Download Audio, Manhaj

Hukum Tentang Aksi-Aksi Bom Bunuh Diri

$
0
0

896D562E-BF49-4B06-86FE-F3B514677191-328-0000001D098EEE7ASyaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah ditanya : Sebagian jama’ah membenarkan adanya jihad perorangan dengan berdalil kepada perbuatan seorang sahabat yang bernama Abu Bashir, mereka melakukan bom syahid (saya katakan ; bom bunuh diri), bagaimana hukum perbuatan ini ?

Jawaban
Syaikh Al-Bani rahimahullah menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.

Berapa lama tindakan ini mereka lakukan ..?
Penanya menjawab : “empat tahun”.

Maka Syaikh Al-Abani berkata : “Mereka untung atau rugi?”.
Penanya berkata : “rugi”.

Syaikh Al-Bani berkata : “dari buahnya mereka dikenal”
[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 527]

Penanya berkata : Berhubung dengan siasat perang modern, di dalamnya terdapat pasukan penyerang yang disebut komando, di sana terdapat pasukan musuh yang menyerang kaum muslimin, maka mereka membuat suatu kelompok bunuh diri (jibaku) meletakkan bom ke arah tank-tank musuh, sehingga banyak menewaskan mereka “apakah perbuatan ini dianggap bunuh diri ?”

Jawaban.
Ini tidak dianggap bunuh diri ; karena bunuh diri adalah jika seorang muslim membunuh dirinya untuk melepaskan diri dari kehidupan yang celaka. Adapun gambaran di atas yang engkau tanyakan, maka tidak dikatakan bunuh diri bahkan ini adalah jihad fi sabilillah, hanya saja di sana ada catatan yang harus diperhatikan, yaitu hendaknya perbuatan ini bukan sekedar ide pribadi, tetapi harus dengan perintah komandan pasukan, jika komandan pasukan merasa perlu dengan tindakan ini, dia memandang bahwa unsur kerugian yang ditimbulkan lebih sedikit daripada keuntungan yang didapatkan, yaitu memusnahkan jumlah besar dari pasukan musyrik dan kafir, maka pendapat komandan pasukan ini harus ditaati karena komando di tangannya, walaupun ada yang tidak suka maka tetap wajib.

Bunuh diri termasuk hal yang paling diharamkan dalam Islam, karena pelakunya tidaklah melakukannya kecuali karena marah kepada Rabbnya dan tidak ridho kepada ketentuan Allah Jalla Jalaluhu. Adapun yang tadi maka tidak termasuk bunuh diri, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat, seorang dari mereka menyerang sekelompok orang kafir dengan pedangnya, dia tebaskan pedangnya kepada mereka hingga kematian menjemputnya, dia sabar karena dia tahu bahwa tempat akhirnya adalah surga. Maka berbeda sekali antara orang yang membunuh dirinya dengan cara jihad bunuh diri ini dan antara orang yang mengakhiri hidupnya yang sempit dengan membunuh dirinya, atau melakukannya dengan ijtihad pribadinya, maka yang ini termasuk hal yang melemparkan dirinya kepada kebinasaan.

[Silsilah Huda wan Nur kaset no. 134]

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman berkata : Sesudah menjelaskan keharaman aksi bom bunuh diri ini Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan mengatakan:

Kemudian kita datang kepada beberapa gambaran dari aksi-aksi bunuh diri, yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan tujuan memancing kemarahan musuh. Walaupun perbuatan ini tidak memajukan atau memundurkan, tetapi dengan banyaknya aksi-aksi ini bisa jadi akan melemahkan musuh atau membuat takut mereka. Aksi-aksi bunuh diri ini berbeda dari pelaku yang satu dengan pelaku yang lainnya. Kadang-kadang orang yang melakukan aksi bom bunuh diri ini terpengaruh oleh orang-orang yang membenarkan perbuatan ini, maka dia melakukannya dengan niat berperang, berjihad dan membela suatu keyakinan. Jika yang dibela benar, dan dia melakukannya dengan landasan pendapat orang yang membolehkannya maka bisa jadi dia tidak dikatakan bunuh diri ; karena dia berudzur dengan apa yang dia dengar.

[Koran Al-Furqon Kuwait, 28 Shafar, edisi 145, hal. 21 dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 62]

Penutup
Pembahasan kita ini berhubungan dengan kejadian aksi bom bunuh diri di negeri-negeri Islam yang tertindas dan dijajah oleh orang-orang kafir seperti Palestina, Afghanistan, Irak dan yang lainnya. [Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hal. 38]

Adapun aksi bom bunuh diri di negeri-negeri kaum muslimin maka hukumnya adalah haram, karena akan menyebabkan melayangnya jiwa-jiwa yang tidak berdosa dari kaum muslimin. Allah Jalla Jalaluhu mengancam siapa saja yang membunuh jiwa seorang mukmin dengan ancaman yang sangat keras.

“Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. [An-Nisa : 93]

Jika yang terbunuh adalah orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah muslim maka pelakunya mendapat ancaman dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan maka dia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga didapati dari 40 tahun perjalanan”. [Shahih Bukhari 6/2533. Lihat majalah Buhuts Islamiyyah yang diterbitkan oleh Haiah Kibar Ulama edisi 56 hal. 357-362]

Kami akhiri bahasan ini dengan Nasehat berharga dari Syaikh Al-Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

Jika seorang mujahid mengikhlaskan niat kepada Allah Jalla Jalaluhu semata, maka tidak diragukan lagi bahwa dia akan diberi pahala yang layak baginya sesuai dengan niatnya, tetapi aksi bom bunuh diri ini bukanlah jihad yang diperintahkan Allah Jalla Jalaluhu. Karena jihad harus dipersiapkan, sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian”. [Al-Anfal : 60]

Inilah jihad, yaitu diumumkan dan dipersiapkan, jihad inilah yang seorang muslim tidak diperkenankan ketinggalan. Adapun jihad yang berarti aksi perorangan -seperti bom bunuh diri-, .. maka itu bukanlah jhad…, karena inilah maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya, memahami syari’at Rabb mereka dengan pemahaman yang shahih, dan mengamalkan apa yang mereka fahami dari syari’at Allah Jalla Jalaluhu dan agamaNya dengan ikhlas dan benar, sehingga mereka bisa bersatu dibawah satu kalimat ; pada saat itulah orang-orang yang beriman bergembira dengna pertolongan Allah Tabaraka wa Ta’ala.

[Dari kaset Taharri Fil fatwa dengan perantaraan Salafiyyun wa Qadhiyatu Filisthin hal. 66-67]

Wallahu ‘alam

[Disunting dari majalan Al-Furqon, edisi 3 Tahun IV, hal. 23-28, Judul BOM Syahid Atau Bunuh Diri, Penyusun Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jawa Timur] Almanhaj


Filed under: Fatwa Ulama, Manhaj, Tanya Jawab, Terorisme, Uncategorized

Keutamaan Shalat Dan Beribadah Di Raudhah

$
0
0

EC8B49F5-8360-4639-A175-EEB1E3F81FAD-249-000000383845F6B0

Hadits keutamaan raudhah

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ketika ditanya mengenai hadits:

ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة

“antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga”

Beliau menjelaskan: “hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah dan beliau menilai hadits ini hasan gharib dari Ali. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dan selainnya dari jalan lain yang di dalamnya terdapat tambahan:

ومنبري على حوضي

‘dan mimbarku (kelak) akan berada di atas telagaku‘

Makna hadits ini menyatakan bahwa area tersebut (raudhah) memiliki kemuliaan dan keutamaan. Barangsiapa yang shalat di sana seakan-akan ia telah duduk di taman dari taman-taman surga. Sehingga menjadikan shalat yang dilakukan di sana berpahala banyak. Sebagaimana juga shalat di bagian masjid Nabawi yang lain dilipat-gandakan pahalanya 1000 kali dari shalat di masjid lain kecuali masjidil haram”[1].

Disunnahkan beribadah di raudhah

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah juga mengatakan: “raudhah adalah area di sekitar mimbar yang biasa digunakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk berkhutbah. Berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas, raudhah ini termasuk dalam taman-taman surga. Oleh karena itu disunnahkan shalat di raudhah baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Demikian juga disunnahkan i’tikaf atau duduk untuk berdzikir atau membaca Al Qur’an di sana. Karena beribadah di sana terdapat pelipat-gandaan pahala” [2].

Beberapa kesalahan-kesalahan di raudhah

Walaupun dianjurkan beribadah di raudhah, para ulama juga memperingatkan beberapa kesalahan yang wajib dijauhi ketika berada di-raudhah. Diantaranya adalah:

Ikhtilath (campur-baur) antara lelaki dan wanita di-raudhah
Ngalap berkah kepada kuburan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan cara mengusap-usap dindingnya atau dengan cara lainnya
Masuk ke raudhah bermaksud untuk mendekat kepada kuburan Nabi dan beribadah kepada kuburan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Ngalap berkah dengan mimbar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan cara mengusap-usapnya
Syaikh Abdullah bin Jibrin menjelaskan, “kami berpandangan bahwa tidak boleh bagi wanita untuk shalat di raudhah jika di sana ada para lelaki, atau jika dikhawatirkan mereka terlihat oleh para lelaki. Juga tidak dibolehkan jika tujuan masuk ke raudhah adalah untuk mendekati kuburan Nabi. Adapun jika di masjid tidak terdapat lelaki maka tidak mengapa wanita masuk ke raudhah yang letaknya antara mimbar dan rumah Nabi untuk melakukan shalat atau ibadah sunnah lainnya”.

Beliau melanjutkan, “Dan tidak diperbolehkan juga baik bagi wanita maupun laki-laki untuk mengusap-usap dinding kuburan Nabi atau pun mengusap-usap mimbar Nabi ataupun benda lainnya yang ada di raudhah. Yang dituntut ketika berada di raudhah adalah mengerjakan shalat fardhu ataupun shalat sunnah dengan penuh kekhusyukan dan menghadap ke kiblat (bukan ke kuburan Nabi, pent.)” [3].

Demikian uraian yang singkat ini, semoga bermanfaat.

***

Catatan kaki

[1] http://ar.islamway.net/fatwa/27251

[2] http://ar.islamway.net/fatwa/26461

[3] http://ar.islamway.net/fatwa/27470

Penyusun: Yulian Purnama

Sumber: Muslim.or.id

 


Filed under: Fadha-il amal, HADITS

Kapan Berdiri Untuk Shalat Ketika Iqamah Dikumandangkan?

$
0
0

IMG_1064Yulian Purnama

Mungkin terdengar sebagai perkara remeh bagi anda? Tapi tidak, bukan perkara remeh. Buktinya para ulama membahas masalah ini. Yaitu ketika iqamah (atau sering disebut komat) dikumandangkan, kapan para jama’ah berdiri atau mulai beranjak menuju shalat? Maksudnya pada lafal mana dari iqamah mereka mulai berdiri dan beranjak?

Jika Imam Sudah Hadir

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Ketika lafadz Allaahu Akbar yang pertama. Ini pendapat Imam Asy Syafi’i, Sa’id bin Musayyab, Ibnu Syihab Az Zuhri, ‘Arrak bin Malik, Abu Qilabah, Umar bin Abdil Aziz. Ibnu Syihab mengatakan:
إن الناس كانوا ساعة يقول المؤذن: الله أكبر, يقومون إلى الصلاة

“Mereka (para salaf) ketika muadzin mengumandangkan: Allahu Akbar, mereka berdiri untuk shalat” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 1/507)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid (9/192),

عن عمرو بن مهاجر قال: رأيت عمر بن عبد العزيز، ومحمد بن كعب القرظي، وسالم بن عبد الله، وأبا قلابة، وعراك بن مالك الغفاري، ومحمد بن مسلم الزهري، وسليمان بن حبيب؛ يقومون إلى الصلاة في أول بدء الإقامة

“Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, aku melihat Umar bin Abdil Aziz, Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, Salim bin Abdillah, Abu Qilabah, ‘Arrak bin Malik Al Ghiffari, Muhammad bin Salim Az Zuhri, Sulaiman bin Habib, mereka berdiri untuk shalat ketika pertama kali iqamah dimulai”

Ketika lafadz Qad qaamatis shalaah. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Al Hasan Al Bashri, dan Ibnu Sirin.
عَنِ الْحَسَنِ، «أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يَقُومَ الْإِمَامُ حَتَّى يَقُولَ الْمُؤَذِّنُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ»

“Dari Al Hasan Al Bashri, ia tidak menyukai seorang imam berdiri kecuali jika muadzin sudah mengumandangkan Qad qaamatis shalaah” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 4099)

عن أبي يعلى قال: “رأيت أنس بن مالك؛ إذا قيل: قد قامت الصلاة؛ قام فوثب”

“Dari Abu Ya’la, ia berkata, aku melihat Anas bin Malik ketika terdengar Qad qaamatis shalaah ia berdiri lalu melompat” (Diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid, 9/193 dan )

Ketika lafadz Hayya ‘alal Falaah. Ini pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan ulama Kufah (lihat Al Istidzkar, 1/391-392)
Tidak ada batasan tertentu. Ini pendapat Imam Malik. Beliau berkata:
وَأَمَّا قِيَامُ النَّاسِ، حِينَ تُقَامُ الصَّلاَةُ، فَإِنِّي لَمْ أَسْمَعْ فِي ذلِكَ بِحَدٍّ يُقَامُ لَهُ. إِلاَّ أَنِّي أَرَى ذلِكَ عَلَى قَدْرِ طَاقَةِ النَّاسِ

“Adapun masalah kapan para jama’ah berdiri ketika iqamah, saya belum pernah mendengar ada batasan khusus dalam hal itu. Saya berpendapat itu tergantung kemampuan setiap orang” (Al Muwaththa, 226)

Pendapat yang rajih adalah pendapat yang terakhir, karena tidak ada nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai hal ini. Maka kapan seseorang berdiri untuk shalat? Jawabnya tergantung kemampuan masing-masing untuk mencapai shaf yang paling afdhal. Untuk orang yang lemah fisiknya hendaknya sejak awal ia sudah berdiri, demikian juga yang duduk jauh dari shaf awal. Adapun yang sehat fisiknya dan tidak jauh dari shaf awal ia bebas memilih waktu kapan saja untuk berdiri selama ia masih bisa mendapatkan shaf yang utama. Namun tentu saja, ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah.

Jika Imam Belum Hadir

Jika imam belum hadir di masjid, maka ma’mum tidak berdiri kecuali setelah melihat imam, walaupun -andaikan- iqamah sudah dikumandangkan. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إذا أقيمت الصلاة فلا تقوموا حتى تروني

“Jika shalat akan didirikan, janganlah kalian berdiri hingga melihatku” (Muttafaqun ‘alahi)

Semoga bermanfaat.

Referensi: Shifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, hal 42-45, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi

Sumber: kangaswad.wordpress.com

 


Filed under: Fiqih, Sholat

Mengenal Ikhwanul Muslimin Dan Sosok Pendirinya

$
0
0

IMG_1137Abdurrahman Thoyyib Lc

Nama Hasan Albanna tidak asing lagi ditelinga para aktivis harakah/pergerakan. Seorang pelopor gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang lahir pada tahun 1904, yang mereka gelari dengan Asy-Syahid, mujaddid/reformis, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab dan gelar-gelar setumpuk lainnya. Namun pernahkah mereka merenungkan sejenak, siapa jati diri sebenarnya sang idola? Apakah pujian dan sanjungan ini hanya dilatar belakangi oleh semangat yang membabi buta sehingga tidak tahu mana yang harus dipuji dan mana yang harus dibenci? Timbangan yang manakah yang mereka pakai untuk mengenal sosok sang pahlawan fanatik golongan ataukah kejahilan?

Dalam kesempatan kali ini, marilah kita bersama-sama menyaksikan sendiri sebagian penyimpangan-penyimpangan Hasan Albanna dengan hati yang lapang dada dan penuh ketulusan serta keikhlasan demi mencari kebenaran.

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’am : 55)

Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الخير و كنت أساله عن الشر مخافة أن يدركني

Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah r tentang kebaikan tapi aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan agar jangan sampai menimpaku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang penyair mengatakan:

عرفت الشر لا للش ر لكن لتوقيه

ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه

Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat kejelekan

Akan tetapi untuk aku menjauhinya

Dan barangsiapa yang tidak mengetahui kejelekan

dari kebaikan maka (kejelekan) itu akan menimpanya

Dan penyair lain mengatakan:

القدح ليس بغيبة في ستة متظلم ومعرف ومحذر

ومجاهر فسقا ومستفت ومن طلب الإعانة على إزالة منكر

Celaan itu bukan termasuk ghibah/mengunjing dalam enam perkara

Orang yang mengadukan kedzaliman, memperkenalkan, memperingatkan[1]

Dan orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang minta fatwa

serta orang yang minta pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran

Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata dalam kitab Talbis Iblis hal.209 : Dan kami menyebutkan apa yang sampai kepada kami dari kesalahan mereka (orang-orang sufi-pent). Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kami tidaklah bermaksud menjelaskan kesalahan orang yang menyimpang melainkan untuk mensucikan syariat dan sebagai bentuk kecemburuan terhadap syariat dari virus-virus yang merasuk ke dalamnya. Tidak ada sama sekali dendam pribadi kepada orang tersebut. Sesungguhnya kami melaksanakan ini semua demi menjalankan amanah ilmiah. Senantiasa para ulama menjelaskan kesalahan sebagian yang lain untuk menampakkan yang haq/benar, bukan untuk caci makian. Dan tidak perlu kita menggubris ucapan orang jahil yang mengatakan: Bagaimana dia membantah si fulan yang zuhud lagi mulia? karena tunduk dan patuh itu hanya kepada syariat bukan kepada perorangan. Bisa jadi orang itu termasuk wali-wali Allah dan penghuni surga tapi ini semua tidak mencegah kita untuk menjelaskan penyimpangan-penyimpangannya.

1. Hasan Albanna adalah seorang sufi bukan sunni.

Hasan Albanna berkata tentang dirinya sendiri dalam kitabnya Mudzakkirah Ad-Dakwah Wa ad-da’iyah hal.27 : Aku berteman dengan teman-teman tarekat Hasofiyah di Damanhur dan aku rajin berkumpul di masjid Taubah setiap malam….lalu hadir Sayyid Abdul Wahhab tokoh tarekat Hasofiyah Syadziliyah dan akupun mengambil tarekat Hasofiyah Syadziliyah darinya dan aku diizinkan untuk memegang tugas-tugasnya.

Umar Tilmisani pemimpin ketiga Ikhwanul Muslimin berkata dalam bukunya Dzikkrayaatun laa mudzakkiraat hal. 56 : Semenjak muda Hasan Albanna telah berguru kepada syaikh-syaikh tarekat Hasofiyah.[2]

Muhammad Syauki Zaki (pendukung Ikhwanul muslimin) berkata dalam bukunya Al-Ikhwanul Muslimun wal mujtama’ Al-Misri hal.14 : Kemudian berkembanglah pemikiran dalam benak beliau setelah masuk sekolah Mu’allimin di Damanhur dan beliau menisbatkan diri kepada tarekat Hashofiyah. Beliau amat kagum dengan syaikh tarekat dan amat sangat terpengaruh dengan mereka. Beliaupun bersama teman-teman Hashofiyah mendirikan yayasan Hashofiyah Khairiyah dan beliau menjabat sebagai sekretarisnya.

Jabir Rizqi menukil ucapan Abdurrahman Albanna –saudara kandung Hasan Albanna– dalam kitabnya Hasan Albanna bi aqlaami talaamidzatihi wa mu’aashirihi hal.70-71 : Setelah shalat Isya’ saudaraku (Hasan Albanna) duduk bersama dengan jama’ah dzikir tarekat Hashofiyah.

Diantara yang menunjukkan akan kesufiannya adalah pujiannya terhadap kitab Ihya’ ulumuddin oleh Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullahu yang merupakan kitab sufi/tasawwuf. Berkata Mahmud Abdul Halim -seorang tokoh Ikhwanul muslimun- dalam kitabnya Ikhwanul muslimun ahdaatsun shana’at at-taarikh hal.61 : Dahulu ustadz al-mursyid (Hasan Albanna) berpendapat bahwa kitab (Ihya’ ulumuddin) adalah kitab ensiklopedi Islam yang termulia dan di antara cita-cita beliau adalah mengajarkan kitab tersebut.”

*Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam Talbis Iblis hal.205 : Lalu datanglah Abu Hamid Al-Ghazali dan dia mengarang untuk mereka (orang-orang sufi) kitab Ihya’ ulumuddin[3] dengan metode sufi. Dia penuhi buku tersebut dengan hadits-hadits batil sedang dia tidak mengerti akan kebatilannya. Dan dia berbicara tentang ilmu kasyf (penyingkapan) hingga beliau keluar dari batasan syariat.

Beliau juga berkata tentang orang-orang sufi dalam Talbis Iblis hal.203 : Mereka berada diantara kekufuran dan kebid’ahan, kemudian terpecahlah mereka menjadi tarekat-tarekat hingga rusaklah aqidah mereka.

2. Hasan Albanna seorang mufawwidhah [4] dan berdusta atas nama salaf

Hasan Albanna berkata dalam kitabnya Al-‘Aqaaid hal.66 : Adapun salaf ridhwanullahi ‘alaihim berkata : Kita beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat seperti apa adanya dan kita menyerahkan maknanya kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Mereka menetapkan tangan, mata, istiwa’/bersemayam, tertawa dan ta’ajub…Semua itu kita tidak mengetahui maknanya dan kita serahkan maknanya kepada Allah.

Dia juga berkata pada hal. 70 : Aku telah menjelaskan kepada anda bahwa salaf ridhwanullahi ‘alaihim beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah seperti apa adanya dan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah tabaaraka wa ta’ala dengan meyakini ketidak adanya serupaan dengan makhluk-Nya.

Dia juga berkata pada hal.76 : Kita yakini bahwa pendapat salaf yang diam dan menyerahkan makna ayat-ayat dan hadits-hadits sifat kepada Allah adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti (Aula bil ittiba’).

* Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Al-Fatawa Al-Hamawiyah Al-kubro hal.282-289 : Adapun kelompok yang menyelisihi jalan salaf (dalam masalah asma’ dan sifat-pent) ada tiga : ahli takhyiil, ahli takwil dan ahli tajhil.

Ahli takhyiil adalah orang-orang filsafat dan yang mengikuti jejak mereka dari kalangan ahli kalam dan orang-orang tasawwuf/sufi.
Ahli takwil adalah orang-orang yang mengatakan bahwa nash-nash yang berkaitan dengan sifat Allah tidak seperti yang dimaksudkan oleh rasul (secara dzohir) untuk manusia meyakini kebatilannya. Akan tetapi beliau menginginkan maksud yang lain namun tidak beliau jelaskan apa maknanya. Beliau menginginkan agar mereka sendirilah yang menjelaskan maknanya sesuai dengan akal-akal mereka.
Ahli tajhil adalah orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai pengikut sunnah dan salaf. Mereka berkata bahwa Rasul r tidak mengetahui makna apa yang Allah turunkan dari ayat-ayat sifat….makna hadits-hadist sifat tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.[5]
Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata dalam Syarah Aqidah Thahawiyah hal.802 : Adapun ahli tajhil dan tadhlil (mufawwidhah), pada hakikatnya mereka mengatakan bahwa para Nabi dan pengikutnya adalah orang-orang bodoh dan sesat. Mereka tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah tentang apa yang Dia sifatkan diri-Nya dengan sifat tersebut melalui ayat-ayat dan ucapan para nabi, Ahli tajhil mengatakan : Mungkin nash tersebut memiliki makna yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Jibril tidak mengetahuinya, demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi-nabi yang lain terlebih lagi para sahabat dan tabi’in serta yang mengikuti mereka dengan baik. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca firman Allah :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thaha : 5)

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir : 10)

مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shaad : 75)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui makna ayat-ayat tersebut, Makna ayat-ayat tersebut tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ta’ala. Mereka mengira ini adalah jalan salaf [6]“.

Aqidah salaf hanya menyerahkan hakekat sifat Allah bukan maknanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu : Bersemayamnya Allah itu sudah diketahui (maknanya), tapi kaifiyahnya (hakikatnya) tidak diketahui. Beriman dengan sifat tersebut adalah wajib, adapun menanyakan bagaimananya (hakikat) sifat tersebut ini adalah bid’ah.[7]

3. Hasan Albanna mengkaburkan hakikat wala’ (cinta) dan bara’ (benci)

Hasan Albanna mengatakan dalam kitab Mawaaqif fid dakwah wat tarbiyah hal.120 oleh Abbas As-Siisy : Sudah dimaklumi oleh Jama’ah Ikhwanul muslimin bahwa mereka menyeru dan berdakwah untuk berhukum kepada Al-Qur’an Al- karim. Dan hal ini membuat ketakutan serta keraguan pada diri saudara-saudara kita orang-orang Nashara.

Dia juga berkata dalam kitab Al-Ikhwanul muslimun ahdaatsun shanaat at-taarikh hal.409 : Saya menyatakan bahwa sesungguhnya permusuhan kita dengan orang-orang Yahudi bukanlah karena agama. Sebab Al-Qur’an menganjurkan untuk bersatu dan bersahabat dengan mereka. Agama Islam adalah agama insani/kemanusiaan sebelum menjadi agama qaumi (kaum/kelompok). Allah telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dan mereka kesepakatan.

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (QS. Al-Ankabut : 46)

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang orang-orang Yahudi, Al-Qur’an hanya berbicara dari sisi ekonomi dan undang-undang. Allah ta’ala berfirman dan Dialah yang paling benar ucapan-Nya :

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا(160)وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa’ : 160-161)

Kita sangat menentang pengungsian Yahudi (ke Palestina) karena hal tersebut berbahaya bagi perpolitikan dan perekonomian. Kita hanya menginginkan Palestina menjadi hak orang Arab.Dan ucapan saya yang terakhir dari sisi agama, bahwasanya orang-orang yahudi berkata tentang Palestina bahwa itu adalah tanah yang dijanjikan. Menurut kita tidak ada larangan kalau orang-orang Yahudi akan bersama kita pada hari kiamat kelak.

* Subhanallahu, ucapan Hasan Al-Banna ini serupa dengan ucapan orang-orang liberal yang sesat bahkan kufur. Ucapan ini sangat menyimpang dengan apa yang telah Allah firmankan :

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ(35)مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam : 35-36).

Inikah sosok sang pahlawan Asy-Syahid, tokoh aktivis gerakan? Mungkin kalau bukan Hasan Albanna yang mengatakan seperti ini, mereka (para aktivis harokah) akan mengelarinya sebagai antek-antek Yahudi.

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS. Al-Maidah : 8).

Tidakkah Hasan Albanna memahami firman Allah ta’ala?

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah : 120)

dan firman-Nya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah : 51)

Dan firman-Nya :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila`nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-Maidah : 64)

Dan firman-Nya :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah : 30)

Dan firman-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah : 6)

4. Hasan Albanna menyamakan antara Ahlussunnah dan Syiah

Hasan Albanna berkata dalam kitab Dzikkrayaatun laa mudzakkiraat hal.250 : “Ketahuilah bahwa ahlussunnah dan syiah adalah kaum muslimin yang dipersatukan oleh kalimat laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan rasulullah yang merupakan prinsip aqidah. Syiah dan sunnah sama dan serupa di dalamnya. Adapun perselisihan antara mereka hanyalah dalam perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan…Syiah terpecah menjadi kelompok-kelompok seperti terpecahnya empat madzhab dalam tubuh ahlussunnah[8]. Syiah Imamiyah misalnya berkata bahwasannya kepemimpinan adalah pokok yang wajib dalam Islam dan harus diwujudkan. Mereka tidak berperang melainkan bersama imam/pemimpin Al-Muntazhar (yang ditunggu), karena imam adalah penjaga syariat dan ucapan imam adalah hakim atas hukum-hukum syariat serta mentaati imam adalah wajib secara mutlak. Dan masih ada perbedaan yang lain yang masih bisa dihilangkan seperti masalah nikah mut’ah, banyaknya istri bagi seorang muslim. Yang demikian ini ada pada sebagian kelompok mereka dan masalah-masalah lain yang tidak harus kita jadikan sebagai pemutus tali persaudaraan antara ahli sunnah dan syiah. Sungguh kedua kelompok ini sudah menyatu sejak ratusan tahun yang lalu dan para Imam-imam (syiah) telah banyak mengarang kitab Islami yang memenuhi perpustakaan-perpustakaan.

Umar Tilmisani mengatakan dalam kitab tersebut hal.249 : Dahulu Imam Asy-Syahid ridhwanullahi ‘alaihim sangat antusias sekali untuk menyerukan persatuan Islam dan senantiasa Ikhwanul muslimun akan menyerukan hal tersebut meski menghadapi tantangan dalam mewujudkan tujuan yang mulia ini karena kaum muslimin adalah umat yang satu seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an :

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu.” (QS. Al-Anbiya’ : 92)

Sekitar tahun 40-an, aku masih ingat bahwa Sayyid Al-Qummi –tokoh Syiah- pernah bertamu di markas besar Ikhwanul muslimin dan saat itu Imam Asy-Syahid sedang gigih untuk menyatukan berbagai kelompok agar musuh-musuh Islam tidak menjadikan perpecahan ini sebagai senjata untuk memecah belah umat Islam.

* Lihatlah wahai saudaraku akan agama Syiah yang sebenarnya sehingga akan jelas bagi kita mana kawan mana lawan. Dan pasti kita akan dapatkan kebatilan, kejahilan serta kedustaan dalam ucapan pendiri Ikhwanul Muslimin ini.

Al-Kulaini (ahli hadats Syiah) berkata dalam kitabnya Al-Kafi 8/245 : Semua orang (sahabat) sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam murtad kecuali tiga saja Miqdad bin Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.

Dia juga berkata dalam Al-Kafi 1/186 : Kami memiliki mushaf Fatimah alaihas salam…mushaf tersebut tiga kalinya Al-Qur’an kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun disana yang sama dengan Al-Qur’an.

Khumaini (dedengkot Syiah Iran) berkata dalam kitabnya Kasyful Asyrar hal. 49 : Sebagian orang berkata : Sesungguhnya meminta sesuatu kepada orang yang telah mati itu syirik, karena Rasul atau imam setelah meninggal seperti benda mati tidak bisa mendatangkan manfaat maupun madhorot. Untuk membantah persepsi ini kita mengatakan : Itu bukan syirik, mereka tidak memberikan penjelasan tentang arti syirik dan kufur hingga kita bisa menghukuminya syirik.

* Syaikh Ihsan Ilahi Dzahir rahimahullahu berkata dalam kitabnya Asy-Syi’ah was sunnah hal.72 : ” Apa yang akan dikatakan para dai yang mengingingkan persatuan dengan syiah di negeri sunnah? Apa yang bisa dikatakan oleh mereka yang ingin menyatukan semuanya? Bagaimana kita bisa bersatu dengan orang-orang yang mencaci maki Umar dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah orang itu ingin untuk kita meninggalkan aqidah kita dan menutup mata dari celaan-celaan serta caci makian Syiah terhadap para sahabat?”

Syaikh Muhammad Maalallahu rahimahullahu berkata dalam kitabnya Mauqif Asy-Syi’ah min ahli sunnah hal.8 : Diatas apakah persatuan ini? Apakah syiah benar-benar menginginkan persatuan ataukah hanya sekedar propaganda belaka? Diatas pondasi apakah persatuan ini akan dibangun?Apakah diatas pensifatan terhadap Allah dengan kebodohan dan kelupaan? Apakah diatas keyakinan bahwa Al-Qur’an itu telah diselewengkan dan dikurangi? Apakah diatas celaan dan laknat terhadap para sahabat dan para salaful ummah? Perselisihan antara ahlu sunnah dan syiah adalah perselisihan aqidah bukan masalah fiqih.

Imam Syafi’i rahimahullahu berkata : Aku tidak pernah melihat ahli bid’ah yang paling berdusta dari pada Syiah/rafidhah.[9]

Muhammad bin Yusuf rahimahullahu berkata : Aku tidak melihat Syiah/rafidhah dan Jahmiyah melainkan zindiq/munafik.[10]

Ad-Dauri rahimahullahu berkata : Aku tidak mau memakan sesembelihan orang syiah/rafidhah karena menurutku mereka itu murtad.[11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata : Orang-orang syiah rafidhah adalah ahli bid’ah yang paling bodoh dan dzalim. Mereka memusuhi para wali-wali Allah -setelah para nabi- dari kalangan Muhajirin dan anshar yang mengikuti mereka dengan baik –Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya-. Tapi orang-orang syiah mereka cinta kepada orang-orang kafir dan munafik dari orang-orang yahudi, nashrani, orang-orang musyrikin, mulhidin/atheis seperti Nusairiyah, Ismailiyah dan orang-orang sesat lainnya. Anda akan mendapati mereka atau kebanyakan dari mereka jika berselisih antara orang muslim dan orang kafir tentang Allah atau ajaran para nabi atau perselisihan dalam ucapan dan perbuatan. Atau seperti perang antara orang muslim dan ahli kitab serta orang-orang musyrikin, maka anda akan mendapati orang-orang syiah tersebut membantu orang-orang musyrik dan ahli kitab melawan kaum muslimin. Sebagaimana yang terjadi berulang kali, mereka membantu orang-orang musyrikin dan selain mereka terhadap kaum muslimin di Khurasan, Irak, Jazirah dan selainnya. Dan mereka juga pernah membantu orang-orang Nashara melawan kaum muslimin di Syam, Mesir dan selainnya.[12]

5. Hasan Albanna pengkeramat kuburan

Hasan Albanna menceritakan sendiri akan hakikat dirinya ini dalam kitabnya Mudzakkiraat hal.28-29 : Dahulu kami setiap hari jum’at di Damanhur selalu mengusulkan untuk wisata religi di salah satu makam para wali di Damanhur. Terkadang kami berziarah ke kuburan Dasuqi, kami berjalan kaki setelah shalat subuh dan sampai disana sekitar pukul 08.00. Perjalanan tersebut memakan waktu kurang lebih 3 jam dengan jarak sekitar 20 km. Kita berziarah dan melaksanakan shalat jum’at lalu istirahat…Dan terkadang kami mengunjungi Azbah An-Nawwam yang disana terdapat kuburan Syaikh Sayyid Sanjar salah satu tokoh Tarekat Hashofiyah yang terkenal akan kebaikan dan ketakwaannya…”

Sebenarnya masih banyak penyimpangan-penyimpangan Hasan Albanna dari jalan salaf[13]. Tapi kami rasa apa yang telah disebutkan diatas sudah cukup menggugah mata hati yang masih bisa melihat kebenaran tentang siapa Ikhwanul Muslminin dan pendirinya yang sebenarnya.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf : 37)

قد تنكر العين ضوء الشمس من رمد وينكر الفم طعم الماء من سقم

Terkadang mata ini tidak bisa melihat cahaya matahari dikarenakan sakit (mata) Dan terkadang mulut ini tidak bisa merasakan (manisnya) air karena sakit

الحق شمس والعيون نواظر لكنها تخفى على العميان

Kebenaran bak matahari dan mata-mata ini melihatnya

Akan tetapi matahari tersembunyi bagi orang yang buta

—————————————————–

[1] Memperingatkan manusia dari bahaya dan racun ahli bid’ah atau kelompok sesat seperti Ikhwanul Muslimin.

[2] Tapi Umar Tilmisani salah dalam mengartikan sufiyah. Dia mengatakan : “Sesungguhnya sufiyah menurutku merupakan setinggi-tingginya tingkatan iman…..”. Bagaimana mungkin sufiyah merupakan tingakatan iman tertinggi sedangkan sufiyah tidak pernah dikenal oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat? Tidakkah Umar Tilmisani memahami akan hadits Jibril tentang Iman dan Ihsan?

[3] Untuk mengetahui lebih terperinci ucapan para ulama tentang bahaya kitab Ihya’ ulumuddin silahkan baca Al-Qaulul mubin fit tahdzir min kitab ihya’ ulumuddin oleh Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh dan Ihya’ ulumuddin fii mizanil ulama wal muarrikhin oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halaby.

[4] Mufawwidhah adalah orang yang menyerahkan makna ayat-ayat maupun hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah kepada Allah ta’ala.

[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menganggap tafwidh termasuk sejelek-jeleknya ucapan ahli bid’ah.

[6] Seolah-olah ucapan beliau ini ditujukan kepada Hasan Albanna yang mengaku-ngaku sebagai pengikut salaf.

[7] Lihat Aqidah salaf ashabil hadits hal.40 point 24 oleh Syaikhul Islam Imam Abu Utsman Ash-Shabuni rahimahullahu.

[8] Ini ucapan yang jauh dari fakta.

[9] Lihat Syarhu ushul I’tiqad ahli sunnah no.2811 oleh Al-Lalikai.

[10] Idem 2812

[11] Idem 2817.

[12] Minhajus sunnah 1/5. Oleh karena itu wahai kaum muslimin, janganlah anda tertipu oleh slogan-slogan maupun propaganda bahwasanya orang-orang syiah juga berjihad melawan orang-orang kafir dari pasukan sekutu dan lainnya atau tertipu dengan sandiwara orang-orang syiah di Iran dengan orang-orang yahudi Amerika. Mereka semuanya sama, seperti yang dikatakan oleh orang Arab جد الكلاب واحد “Nenek moyang anjing itu satu” dan seperti yang dikatakan oleh para ulama bahwa الكفر ملة واحدة “Kekafiran itu agama yang satu”. Terlebih lagi telah diketahui bersama bahwa pelopor syiah adalah seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’.

[13] Lebih jelasnya lihat Al-Maurid Al-‘Adzbu Az-Zulal oleh Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, , Al-Ajwibah Al-Mufiidah oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dan makalah Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis di http://www.aleqtisadiah.com.

Sumber: https://abdurrahmanthoyyib.com/2017/07/10/mengenal-ikhwanul-muslimin-dan-sosok-pendirinya/


Filed under: Ikhwanul Muslimin, Manhaj, Uncategorized

Bolehkah Bermadzhab

$
0
0

IMG_1170Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.

Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam kesalahan. Karena kadang sebagia mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر

‘Setiap boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث

“Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah”
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud”

Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy Syuura: 10)

Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya paling kuatlah yang diambil.

Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.

Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama -baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16)

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. Al Anbiya: 7)

[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari Fatawa Nurun ‘Ala Ad Darb Juz 1, http://binbaz.org.sa/mat/4729%5D

Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab di negeri kita, yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qaul mu’tamad (pendapat yang dijadikan pegangang utama madzhab Syafi’i).

Wallahu’alam.

Sumber: kangaswad.wordpress.com


Filed under: Fatwa Ulama, Manhaj

Menjawab Tuduhan Batil Terhadap Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab

$
0
0

keyboard_keys-wallpaper-2048x1536Abul Harits as-Salafy

KEDUSTAAN HIZBUT TAHRIR ATAS SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Sudah menjadi adat dan kebiasaan firqoh-firqoh sesat untuk memusuhi dan memfitnah kepada pembela dakwah yang haq, yang menyeru manusia kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah rasul-Nya. Abdul Qodim Zallum rahimahullahu, salah satu tokoh Hizbut Tahrir dengan bangga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Kaifa Hudimat Khilafah (dalam versi Indonesianya berjudul Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah, hal. 5), sebagai berikut : “Inggris berupaya menyerang negara Islam dari dalam melalui agennya, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Gerakan Wahhabi diorganisasikan untuk mendirikan suatu kelompok masyarakat di dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud dan dilanjutkan oleh anaknya, Abdul Aziz. Inggris memberi mereka bantuan dana dan senjata.”…..

Pada halaman selanjutnya dia mengatakan : “Telah diketahui dengan pasti bahwa gerakan Wahhabi ini di provokasi dan didukung oleh Inggris, menginggat keluarga Saud adalah agen Inggris. Inggris memanfaatkan madzhab Wahhabi, yang merupakan salah satu madzhab Islam dan pendirinya merupakan salah seorang mujtahid.”

Subhanallah ini adalah sebuah kedustaan dan fitnah, serta kezholiman terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab qoddasallahu ruuhahu yang mana hal ini tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang benci terhadap Islam, benci terhadap Firqotun Najiyah, dan benci akan tersebarnya dakwah salafiyyah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ingatlah akan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Isra’ ayat 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” [Al-Isra/17: 36]

Dan yang paling mengherankan lagi, orang-orang Hizbut Tahrir menolak khabar ahad / hadis ahad dalam masalah aqidah, walaupun hadis itu shohih dari Rasulullah karena hal itu tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan ketika dalam masalah/perkara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka (Seperti kedustaan mereka atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), dengan penuh keyakinan dan kebanggaan mereka menerima khabar ahad walaupun itu berasal dari seorang orentalis, sekaligus agen Inggris yang bernama Mr. Hamver yang juga seorang pendusta. Untuk lebih jelasnya mengenai siapa Hamver, marilah kita ikuti penjelasan Syaikh Malik Bin Husain dalam majalah Al-Asholah edisi ke 31 tertanggal 15 Muharram 1422 H, beliau berkata :

“Saya telah meneliti kitab yang beracun dengan judul Mudzakkarat Hamver dan nama Hamver ini tidak asing lagi. Pertama kali aku membacanya di Majalah Manarul Huda, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Maktabah al-‘Alaami yang staf redaksinya dari Jam’iyyah Al-Masyaari’ al-Khairiyyah Al-Islamiyyah pada edisi 28, Ramadhan 1415 H/1995. Majalah ini dikeluarkan oleh Jama’ah Al-Ahbasy, sebuah Jama’ah Sufiyyah berpangkalan di Yordania dan selalu memusuhi dakwah salaf dan para ulama’nya, dan mereka mendapat bantuan dana dari orang-orang Yahudi dalam operasionalnya.

Setelah saya membaca makalah ini, jiwaku terdorong untuk membaca kitab mudzakkarat mata-mata/intel Inggris ini, hingga aku mengetahui sampai sejauh mana kebenaran yang dinisbatkan kepada Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab ini. Ketika selesai membaca mudzakkarat ini, telah jelas bagiku bahwa itu merupakan sebuah dusta dari asalnya, dan Hamver ini adalah seorang yang asalnya tidak ada, lalu diada-adakan. Maka dari itu saya ingin menjelaskan kepada saudara-saudara sekalian tentang hal yang telah saya dapatkan dari peneletianku terhadap mudzakkarat ini, dalam rangka membela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dan juga dapat pembelaan terhadap kaum muslimin dari tikaman orang-orang ahlul bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ

“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” [Al-Anbiya’ /21: 18]

Dan dalam ayat lain Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu”

Pada ayat ini ada pelajaran ilmiyah bagi kelompok orang-orang mukmin, yang menjaga agamanya dan menjaga hubungan persaudaran antar sesama muslim, dengan mencari kejelasan (tatsabut) terhadap semua berita miring yang dilontarkan untuk memecah belah barisan kaum muslimin.

Akan senantiasa terus menerus musuh-musuh dakwah (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-) berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan dakwah ini, yang tidak ada di dalamnya keilmiahan sedikitpun melainkan hanya kebohongan dan kedustaan, laa haula wala quwwata illa billah. Wahai para pencari kebenaran, risalah-risalah dan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- telah tercetak, diantaranya adalah seperti dibawah ini :

Al-Aqidah satu jilid, Fiqih dua jilid, Mukhtasor Siroh Nabi, kumpulan fatwa-fatwa satu jilid, tafsir dan Mukhtasor Zaadul Ma’ad satu jilid, Rosail Sakhshiyaah satu jilid, Kitab Hadits lima jilid, Mulhaq dan Mushonnafat satu jilid. Jadi kesemuanya 12 jilid yang telah dikumpulkan oleh Lajnah Ilmiyah yang khusus menangani masalah ini dan berasal dari Jaami’ah (Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah), yang dikumpulkan serta diverifikasi oleh DR. Abdul Aziz bin Zaid Ar-Ruumi, DR. Muhammad Biltaaji dan DR. Sayyid Hijab, serta di cetak di Riyadh.

Maka barangsiapa yang ingin mencari kebenaran, hendaknya ia membandingkan ucapan Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dengan ucapan musuh-musuh beliau. Karena kitab-kitabnya dan risalah-risalahnya telah tercetak. Kalau ada sesuatu yang benar dari kitab-kitab dan risalah-risalah beliau kita terima, dan kalau ada sesuatu yang salah maka kita tolak, dan kita tidak fanatik kepada seseorang siapapun dia, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau tidak berkata dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.

Adapun kalau kita bersandar perkataan seorang Nasrani yang kafir yang tidak dikenal, yang gemar minum minuman keras sampai mabuk, bahkan dia menyebut kalau dirinya seorang pembohong. Maka keadaan kita persis seperti apa yang digambarkan oleh syair dibawah ini :

Barangsiapa yang menjadikan seokor burung gagak sebagai dalil (hujjah)
Maka dia (burung gagak) akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing

Bagaimana tidak, padahal yang telah jelas dari risalah-risalah dan bantahan-bantahan Al-Imam –rahimahullah- bahwasanya, di dalamnya ada penafian (penolakan) terhadap apa-apa yang dikaitkan dengan dakwah beliau yang berupa tuduhan-tuduhan, dan kedustaan-kedustaaan yang tidak pernah beliau ucapkan, bahkan beliau mengingkarinya, dan berulang-ulang beliau mengatakan : “Hadza buhtanun azhim (ini adalah suatu kedustaan yang besar)”.

Semoga Allah merahmati Imam Adz-Dzahabi yang mengatakan : “Dan Kami belum pernah menjumpai yang demikian itu dalam kitab-kitabnya”. Ketika itu Syaikh Adz-Dzahabi menceritakan beberapa perkara yang dinukil oleh sebagian mereka yang dengannya Imam Ath-Thabari menjadi tertuduh.”

Dan saya (syaikh Malik) katakan : Sesungguhnya apa-apa yang disebutkan dalam mudzakkarat Hamver adalah omong kosong belaka, dan perkataan yang tidak berlandaskan dalil sama sekali. Dan hal ini tidaklah keluar kecuali dari dua macam manusia :

1. Orang yang bodoh kuadrat, tolol tidak bisa membedakan antara telapak tangannya dengan sikunya.

2. Orang yang memperturutkan hawa nafsu, ahlul bid’ah dan musuh dakwah tauhid.

Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya daging para ulama itu beracun, barangsiapa yang mencela para ulama’ maka Allah akan mengujinya sebelum ia mati dengan kematian hatinya. Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselematan.

MUDZAKKARAT HAMVER PADA DASARNYA ADALAH SEBUAH KEBOHONGAN (KEDUSTAAN) DAN HAMVER ADALAH SESEORANG YANG SEBENARNYA TIDAK ADA, LALU DIADA-ADAKAN
Setelah saya mempelajari mudzakkrat ini telah jelas bagi saya bahwasanya mudzakkarat ini adalah hasil dari khayalan seseorang atau sebuah kelompok yang misinya adalah menjelekkan/menjatuhkan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- dengan kedustaan, kepalsuan. Dan dalil dari perkataan ini sangat banyak, diantaranya :

1. Dengan mengikuti sejarah yang disebutkan di dalam mudzakkarat, nampaklah bagi kita bahwasanya Hamver tatkala bertemu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tatkala itu umur beliau kurang lebih masih 10 tahun. Ini adalah hal yang tidak cocok bahkan bertentangan dengan apa yang ada di mudzakkarat (hlm 30), bahwasanya Hamver berkenalan dengan seorang pemuda yang sering datang ke sebuah toko, dan pemuda itu mengetahui tiga bahasa, yaitu bahasa Turki, Faris, dan bahasa Arab, dan ketika itu ia sedang menuntut ilmu, dan pemuda dikenal dengan nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Dan tatkala itu beliau adalah seorang pemuda yang antusias dalam menggapai tujuannya.

Dan engkau dapat merinci hal itu dengan dalil :
1.Disebutkan di (hlm 13) : Kementrian Penjajah Inggris mengutus Hamver ke Asana (markas khilafah Islamiyyah) tahun 1710 M/1122 H).

2. Disebutkan di (hlm 18) : Bahwasanya dia tinggal di sana selama 2 tahun. Kemudian kembali ke London sebagaimana perintah, dalam rangka memberikan ketetapan yang terperinci tentang kondisi di Ibu Kota pemerintahan.

3. Disebutkan di (hlm 22) Bahwasanya dia berada di London selama 6 bulan.

4. Disebutkan di (hlm 22) Bahwasanya dia pergi ke Basrah dan berada di sana selama 6 bulan. Di Basrah inilah dia (Hamver) bertemu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-.

5. adi kalau dijumlahkan tahunnya maka dapat diketahui bahwa Hamver ketemu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- pada tahun 1713 M atau 1125 H dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- lahir pada tahun 1703 M atau 1115 H. jadi waktu ketemu Hamver umur Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- pada waktu masih sekitar 10 tahun. Dari sini dapat diketahui kebathilan dan kebohongan Mudzakarat ini.

6. Disebutkan di dalam Mudzakarat hlm. 100, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mulai menampakkan dakwahnya pada tahun 1143 H. dan ini merupakan kebohongan yang nyata, karena Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mulai menampakkan dakwahnya pada tahun kematian ayahnya yaitu tahun 1153 H.

7. Sesungguhnya sikap pemerintahan Inggris terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- bukan sikap yang ramah dan bersahabat, tetapi sikap yang bermusuhan.

8. Kita tidak menemukan kitab yang menyebut tentang mudzakarat ini sebelumnya. Dan musuh-musuh dakwah syaikh yang mubarak ini selalu menjelek-jelekkan dakwah ini, menisbatkan semua kejelekan kepadanya, dan anehnya hal ini baru dikeluarkan pada waktu akhir-akhir ini. Hal ini jelas menunjukkan kebohongan dan kedustaan mereka.

9. Hamver adalah seseorang yang tidak diketahui (tidak dikenal), mana maklumat yang menjelaskan tentang dia (hamver) ? tidak ada!!!, bahkan tidak ada maklumat dari pemerintah Inggris yang menjelaskan tentang tugasnya hamver ini.

10. Orang-orang yang membaca mudzakarat ini pasti tidak menduga kalau yang menulis ini orang nasrani, karena banyak ibarat/perumpamaan yang menikam agama Nashrani dan pemerintahan Inggris.

11. Dua naskah terjemahan dari mudzakarat ini tidak menyebutkan tanda-tanda yang jelas mengenai kitab (mudzakarat yang asli), dan ditulis pakai bahasa apa ? sudah dicetak atau masih dalam bentuk manuskrip? itu semua tidak jelas.

12. Penerjemahnya pun tidak diketahui orangnya, pada naskah yang pertama tidak disebutkan sama sekali tentang penerjemahnya. Begitu juga pada naskah yang kedua.

13. Pada naskah terjemahan yang kedua dijelaskan tanggal penerjemahannya yaitu : 25 ‘haziran’ 1990. Apakah perkara yang sepenting ini dibiarkan begitu saja ? tidak ada yang mengetahui kecuali setelah 199 tahun kematiannya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah-.

14. Kedua naskah itu sepakat bahwa tanggal 2 Januari 1973 pada akhir dari mudzakarat itu. Dan apa yang dimaksud dengan tanggal ini saya tidak tahu ? apakah ini penulisan mudzakarat hamver ini (seperti yang nampak) ? Dan ini membuktikan kedustaan mudzakarat ini, bahwa wafatnya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah 179 tahun setelah tanggal yang disebutkan itu.

15. Semua yang ada di kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah semua yang ada di muzakkarat ini.

16. Sesungguhnya keberadaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwah beliau sudah merupakan bukti yang cukup kuat untuk membantah apa yang disebutkan di mudzakkarat.

SIKAP PEMERINTAH INGGRIS TERHADAP DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Ketika pemerintah Inggris mulai merasakan dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang semakin menguat dan meluas di berbagai daerah yang di duduki oleh pemerintah Inggris. Seperti yang terjadi di India, terdapat dakwah Syaikh Ahmad bin Irfan yang terkenal dengan nama Ahmad Barily dan para pengikutnya yang mulai menguasai India dan menentang dakwah sesat dari Mirza Ghulam Ahmad Al-Qodiyani yang di dudung sepenuhnya oleh Inggris dan dan orang-orang yang tidak mengerti Islam sama sekali kecuali hanya sekedar namanya saja.

Keseriusan pemerintah Inggris untuk menghancurkan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menyeru manusia untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ini semakin nampak. Ini terbukti dengan biaya dan tenaga yang sangat besar yang telah keluarkan dalam menghentikan dakwah yang mubarakah ini. Salah satu bukti kuatnya adalah ketika Ibrahim Baasya dari Mesir, berhasil menghancurkan kota Dar’iyyah di Riyadh, tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan raja Abdullah bin Su’ud bin Abdul Aziz.

Pemerintah Inggris mengutus George Forster Sadleer yang menjabat sebagai ketua Agen Inggris yang berkedudukan di India untuk melakukan perjalanan panjang dan melelahkan menuju ke Riyadh dengan tujuan memastikan bahwa Dar’iyyah benar-benar sudah hancur sekaligus memberikan ucapan selamat dan penghargaan kepada Ibrahim Baasya. Setelah melalui perjalanan yang melelahkan akhirnya rombongan Sadleer ini bertemu dengan Ibrahim Baasya pada tanggal 13 Agustus 1819 M di tempat yang bernama Bi’ir Ali di dekat kota Madinah.”

Dari data-data diatas jelaslah kedengkian Hizbut Tahrir terhadap dakwah tauhid yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan tidak terbatas pada beliau saja, tetapi Hizb ini membenci semua ulama’ yang mendakwahkan tauhid. Dibawah ini penulis akan menghadirkan beberapa tuduhan bathil Hizbut Tahrir terhadap para ulama’ salaf.

Agar pembaca dapat mengetahui dan membandingkan antara tuduhan Hizbut Tahrir dan fakta yang ada, maka penulis disini sengaja menghadirkan sejarah singkat syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab.

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman Attamimi, beliau lahir di sebuah rumah yang terkenal yang penuh dengan ilmu di kota Uyainah tahun 1115 H/ 1703 M. kakek beliau Sulaiman bin Ali bin Musyrif adalah seorang ulama’ yang terkenal pada zamannya, beliau adalah orang yang dijadikan rujukan para ulama’ pada zamannya. Beliau menulis sebuah kitab yang sangat terkenal dalam masalah Manasik Haji. Begitu juga pamannya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, juga seorang ulama’ ahli fiqih, ayah syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman seorang Hakim yang juga Ahli fiqh.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang cerdas, hafal Al-Qur’an sebelum usia 10 tahun. Belajar Fiqih Hambali pada ayahnya. Syaikh Abdul Wahhab kagum dengan kecerdasan anaknya dalam menerima pelajaran.

Di samping itu Syaikh Muhammad juga belajar dari beberapa guru di berbagai daerah, sampai ke Madinah. Setelah memahami ilmu tauhid dari Al-Qur’an dan Sunnah, beliau melihat di kotanya Najd banyak terjadi kesyirikan, khurafat, dan bid’ah yang merajalela. Beliau menyaksikan para wanita yang belum menikah pergi ke pohon-pohon kurma yang dikeramatkan dan bertawassul (meminta) kepada pohon-pohon kurma itu agar mereka diberikan jodohnya pada tahun ini. Di Hijaz beliau melihat orang-orang mengkeramatkan kuburan para sahabat dan ahlul bait, dan di kota suci Madinah Al-Munawwaroh yang dulu merupakan pusatnya tauhid, beliau menyaksikan bagaiman manusia beristigosah dan berdoa kepada kepada Rasulullah, yang mana hal itu menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah seperti yang difirmankan Allah dalam surat Yunus :

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Janganlah kalian menyeru kepada selain Allah yang tidak mampu memberi kalian manfaat tidak pula memberikana bahaya. Jika kalian melakukannya maka sesungguhnya kalian adalah termasuk orang-orang yang zhalim.”

Dan hadits Rasulullah. “Jika kamu meminta maka memintalah hanya kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.”

Menyaksikan semua kemungkaran itu, beliau bangkit dan segera memulai dawah beliau dengan memurnikan keta’atan kepada Allah, memurnikan tauhid masyarakat Arab yang tercampur dengan Syirik, khurafat, dan bid’ah. Beliau seakan-akan membawa agama baru bagi masyarakat Arab pada waktu yang tengah tenggelam dengan kesyirikan, bid’ah dan khurafat.

Mulailah terjadi perlawanan dari kelompok-kelompok sesat yang merasa dirugikan dengan adanya dakwah Syaikh ini, kemudian mereka mencoba mengadakan perlawanan baik fisik maupun pikiran. Fitnah dan tuduhan keji mulai di arahkan kepada beliau, dengan menyebut semua yang menyelesihi adat dan kebiasaan mereka disebut “Wahhabi” segala sesuatu yang konotasi jelek disebut “Wahhabi”, namun beliau tetap berdakwah kepada Allah, memperingatkan manusia dari bahaya yang mereka lakukan, berusaha mengumpulkan kalimat mereka diatas kebenaran, dan dalam satu kepemimpinan yang ditegakkan pada mereka perintah Allah, dan mereka berjihad dijalan Allah, maka beliau bersungguh-sungguh dalam melaksanakan hal ini, berdakwah kepada Allah, berhubungan dengan para pemimpin, menulis kitab-kitab tentang tauhid/perintah untuk meng-Esakan Allah, dan melaksanakan syariat, serta meninggalkan kesyirikan.

Beliau senantiasa bersabar atas yang demikian itu, mengharapkan pahala dari Allah. Sesudah beliau mempelajari dan memperdalam agama dari para ulama di negeri itu dan selainnya, beliau berusaha bersungguh-sungguh dalam berdakwah kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya, mempersatukan umat di kota Huraimala pada awalnya, lalu di Al Uyainah, lalu berpindah – sesudah beberapa perkara – ke Dar’iyyah, dan Muhammad bin Su’ud membaiatnya untuk berjihad di jalan Allah, untuk menegakkan perintah Allah maka mereka semua adalah orang-orang yang benar dalam hal ini, saling tolong-menolong, maka merekapun berjihad hingga Allah memberi kemenangan dan menguatkan mereka. Meka merekapun menyiarkan tauhid, mengajak manusia kepada kebenaran dan petunjuk dan menerapkan syariat Allah terhadap hamba-hambaNya.

Disebabkan kejujuran dan “isti’anah” (meminta pertolongan) kepada Allah, dan karena tujuan yang benar Allah menolong dan menguatkan mereka. Dan cerita tentang mereka itu sudah tidak asing lagi bagi mereka yang memiliki pengetahuan meski sedikit.

Setelah Muhammad bin Su’ud, kemudian datanglah Raja Abdul Aziz (sesudah masa yang penuh dengan kekacauan dan perpecahan), beliau bersungguh-sungguh dalam memperbaiki keadaan umat ini sambil memohon pertolongan kepada Allah, kemudian meminta bantuan para ulama, maka Allah pun menolong dan menguatkannya, serta mempersatukan kalimat kaum muslimin Jazirah ini. Di atas Syariat dan di jalan-Nya, sehingga tegak dan bersatu jazirah ini dari penjuru utara hingga selatan, timur hingga barat di atas kebenaran dan petunjuk, dengan sebab kejujuran, jihad, dan menegakkan kalimat Allah.

Dalam menyingkapi fitnah terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan agar pembaca bisa menilai dengan adil, maka marilah sejenak kita simak perkataan Syaikh Muqbil bin Hadi -rahimahullah-:

“Maka jika kita melihat ketika diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihat perbuatan (jahat) orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita menyaksikan akhir kesudahan yang baik itu adalah bagi orang bertakwa. Dan demikianlah sesudah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga zaman kita ini yang dianggap sebagai zaman fitnah, fitnah yang bermacam-macam yang tidak akan mengetahui banyaknya fitnah itu melainkan Allah Azza wa Jala.

Dalam zaman ini yang tercampur padanya kesyirikan dan hal-hal jelek bagi kaum muslimin, terdapat kebangkitan yang diberkahi yang mana keutamaan dan karunia ini adalah karena Allah. Dia-lah yang memberkahi, menumbuhkan dan menunjuki jalannya. Lalu musuh-musuh Islam bermaksud menjauhkan manusia dari kebangkitan yang diberkahi ini dengan memberikan bermacam-macam julukan dan nama untuk memalingkan kaum muslimin dari kebangkitan yang diberkahi ini, dan kesadaran yang diberkahi.

Dan kami berbicara –insya Allah- tentang satu julukan, walaupun (segala puji bagi Allah) banyak saudara-saudara kita tidak mengetahui tentang hal ini. Akan tetapi ini termasuk dari (melaksanakan) bab : “Hendaknya seorang yang tahu menyampaikan kepada orang yang tidak tahu”. Karena sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”.

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah memperindah yang mendengar perkataanku, lalu menyapa, menghafal dan menyampaikannya”

Itulah kata buruk yang disebarkan oleh orang-orang komunis, pengikut partai ba’ats, pengikut pemahaman Jamal Abdul Nasir, orang-orang Syi’ah, orang-orang Sufi ahli bid’ah, mereka menyebarkannya dilingkungan masyarakat kita untuk menghalangi manusia dari sunnah Rasulullah, kata-kata itu adalah kata “Wahabiyyah”, maka barangsiapa berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah, mereka menjauhkan manusia darinya dan memberikan julukan itu agar manusia lari darinya.

Dan sepatutnya diketahui, bahwasannya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab- adalah termasuk ulama yang hidup pada abad ke-12 Hijriyah, beliau seorang ulama yang bisa benar dan bisa salah, kalaulah kita orang-orang yang buat “Taklid” (mengikuti tanpa dasar) tentulah kita akan “Taklid” kepada ulama Yaman kita yaitu Muhammad bin Ismail Al-Amiir Ash-Shan’ani –beliau hidup sezaman dengan syaikh Muhammad bin Abdul Wahab-, dan beliau lebih alim daripada syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, akan tetapi syaikh Muhammad bin Wahab dakwahnya diberi kekuatan oleh Allah dengan kekuasaan dan tersebarlah ilmunya. Dan Muhammad bin Ismail Al-Amiir yang hasil karya beliau (karangan-karangannya) memenuhi dunia. Kaum muslimin mendapat manfaat dari kitab-kitabnya, walaupun orang-orang Yaman menghancurkan beliau dan mereka berkehendak mengusirnya dari negeri Shan’a (Yaman)

Itulah kata (Wahabiyyah) yang dengannya manusia dijauhkan dan dihalangi dengannya dari sunnah Rasulullah, wajib bagi kalian untuk berhati-hati dari perkaranya dan kalian hendaknya melihat apa maknanya.

Kata itu (Wahabiyyah) adalah dinisbatkan kepada seorang ulama dan bukanlah dinisbatkan kepada “Marx” dan bukan pula dinisbatkan kepada “Lenin” dan bukan pula dinisbatkan kepada “Amerika” dan bukan pula dinisbatkan kepada “Rusia” dan bukan juga dinisbatkan kepada “Para pemimpin musuh-musuh Islam” dan kami tidak memperbolehkan seorang muslim untuk menisbatkan dirinya kecuali kepada Islam dan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sepatutnya kalian berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam masalah ini. Nabi Sulaiman Alaihissallam ketika burung Hud-hud mengabarinya apa yang dilakukan oleh Ratu Saba’ dan kaumnya :

ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُخْزِيهِمْ وَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تُشَاقُّونَ فِيهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ إِنَّ الْخِزْيَ الْيَوْمَ وَالسُّوءَ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Kemudian Allah menghinakan mereka di hari kiamat, dan berfirman: “Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu (yang karena membelanya) kamu selalu memusuhi mereka (nabi-nabi dan orang-orang mu’min)?” Berkatalah orang-orang yang telah diberi ilmu): “Sesungguhnya kehinaan dan azab hari ini ditimpakan atas orang-orang yang kafir”. [An-Nahl/16 : 27]

Dan Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat/49: 6]

Kami berbicara tentang hal ini bukanlah lantaran Ahli Sunnah dan Ahli Agama di “Dammaj” (tempat Syaikh Muqbil bermukim) karena sesungguhnya dakwah mereka (Segala Puji bagi Allah) diterima oleh penduduk Yaman, akan tetapi permasalahannya adalah propaganda ini telah melanda negeri Saudi Arabia, Mesir, Sudan, Syam, Iraq dan seluruh negeri-negeri Islam. Barangsiapa berpegang teguh kepada Agama, mereka berkata : “Itu adalah Wahabi”.

Dan Allah berfirman dalam kitab-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [Al-Maidah/5 : 2]

Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam shahih muslim : “Orang muslim adalah saudara muslim lainnya. Ia tidak akan mendhaliminya, menghinakannya dan tidak meremehkannya. Ketakwaan itu adalah disini (beliau menunjuk)”

Kami memperingatkan tentang propaganda ini, karena rasa kasih sayang kepada saudara-saudara mereka secara umum dari berburuk sangka kepada saudara-saudara kita para dai yang menyeru ke jalan Allah “Azza wajalla” dan hendaknya mereka tidak mengganggu saudara-saudara mereka para dai di jalan Allah, karena Allah berfirman dalam Al Qur’an :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” [Al Ahzab/33: 58]

Dan Perkaranya adalah sebagaimana pepatah : “Lempar Batu Sembunyi Tangan”

Perkaranya (adalah sebagaimana telah dikatakan) bahwasanya komunis, pengikut partai ba’ats, ……….berbeda dengan ahli sunnah wal jama’ah dan para dai yang menyeru kepada Allah, dan Allah berfirman :

وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian di tuduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya i a telah berbuat suatu kebohongan yang nyata.” [An Nisa/4: 112]

Dan aku katakan kepada saudara-saudara para da’i yang menyeru kepada Allah di seluruh negeri Islam : Hendaknya mereka bersungguh-sungguh menyingsingkan lengan (dalam berdakwah), dan hendaknya mengharapkan wajah Allah (dalam berdakwah), bukan lantaran ingin mendapatkan kursi, kedudukan, dan bukan pula lantaran ingin mendapatkan sedikit kehidupan dunia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali jika amal itu didasari keikhlasan untuk mengharapkan wajah Allah, berdakwah kepada Allah lebih tinggi nilainya daripada kursi, kedudukan dan sedikit kehidupan dunia ini.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkaataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri.” [Fushilat/41 :33]

Ya, Allah berfirman :

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[An Nisa/4 :104]

Kalian mempunyai Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan musuh-musuh kalian dari kalangan kaum komunis, pengikut partai ba’ats, pengikut pemahaman Nasirin, syi’ah, Sufiyyah, propaganda mereka dibangun diatas kedustaan, kebohongan, pengkhianatan. Sedangkan para dai yang menyeru kepada Allah tidak ada yang menolong mereka melainkan Allah, dan cukuplah Allah sebagai penolong. Dan Allah berfirman dalam Al Qur’an untuk mengokohkan hamba-hamba-Nya yang beriman :

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ وَلِيُمَحِّصَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَمْحَقَ الْكَافِرِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” [Ali Imran/3: 139-140]

Dan Allah juga berfirman :

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad/47: 35]

Akan tetapi sepatutnya dakwah itu bukanlah dakwah untuk pemberontakan dan penggulingan, karen dakwah seperti ini lebih banyak kerusakandaripada kebaikannya, dakwah itu adalah mengajak kaum muslimin kembali kepada Al Qur’an dan sunah nabi mereka Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah berfirman :

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” [Al Isra/17: 81]

Dalam ayat yang diberkahi ini terdapat berita gembira dari Allah bahwasanya kebatilan tidak akan mampu berdiri kokoh didepan kebenaran, dan Allah berfirman :

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” [Ar Ra’du/13 : 17]

Maka kami memuji kepada Allah yang membangkitkan penduduk Yaman khususnya, dan juga penduduk Najd di Al Haramain, dan di Mesir, sungguh banyak diantara mereka menjadi orang-orang yang tidak terpengaruh dengan propaganda yang keji ini yang mana proopaganda ini ditujukan kepada seorang ulama yang dipuji oleh ulama Islam. Muhammad bin Ismail Al-Amir An-Shan’ani -rahimahullah- berkata tentang diri syaikh Muhammad bin Abdul Wahab :

Telah datang kabar gembira (datangnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Yang telah mengembalikan syari’at Islam
Beliau singkap kebodohan orang jahil dan mubtadi’ maka beliau bersamaku
Beliau bangun kembali tiang-tiang agama dan menghancurkan kuburan-kuburan keramat yang membuat manusia sesat
Mereka membuat kembali berhala-berhala seperti suwa’ yaghuts, wad dan ini sejelek-jeleknya
Dan mereka memohon kepada berhala-berhala itu dikala susah seperti seorang yang meminta Allah Yang Maha Esa
Berapa banyak orang yang thowaf dikuburan sambil mencium dan mengusap dinding-dinding kuburan dengan tangan-tangan mereka.

Maka wajib bagi para da’i yang menyeru kepada Allah untuk menetapkan kebenaran, dan sungguh kami telah mengatakan dalam beberapa pelajaran maupun khutbah bahwasannya propaganda itu adalah kedustaan untuk menyandarkan diri kita kepada syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sesungguhnya kami tidak ridha untuk dinisbatkan melainkan kami hanya ridha kami dinisbatkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memberi syafa’at kami dan yang kami cintai, yang mana Allah mengeluarkan kami dengan perantaraan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kegelapan kepada cahaya.

Propaganda-propaganda itu akan hilang sebagaimana pernah dijuluki As-Shabi’ artinya orang yang keluar dari agama nenek moyangnya dan berganti agama dengan agama lain. Adapun kita tidaklah keluar dari agama kita berganti dengan agama lainnya kita tidak mengkafirkan bapak-bapak kita, kakek-kakek kita, sebagaimana persangkaan mereka ! dan kita tidaklah mengkafirkan para wali dan tidaklah membenci ahlul bait (keluarga Nabi), dan kita telah membicarakan tentang keutamaan-keutamaan keluarga Nabi dalam beberapa ceramah. Dan kita tidak membenci orang-orang shalih dan kita tidak mengkafirkan masyarakat kita, dan kita tidak memperbolehkan untuk keluar dari ketaatan pemerintahan muslim, maka hendaknya orang yang menyaksikan hal ini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, dan sesudah ini propaganda itu akan lenyap dan akan menjadi sebab bagi tersebarnya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’” [An-Nur/24 11-12]

Jika kamu mendengarkan seseorang berkata : “Itu orang Wahabi”, maka ketahuilah bahwa ia termasuk dari salah seorang dari dua orang ini :

1. Mungkin ia seorang yang melakukan perbuatan keji.
2. Atau mungkin seorang yang bodoh tidak mengetahui hakekat ini.

Ini adalah kedustaan yang besar terhadap para da’i yang menyeru kepada Allah, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [An-Nur/24 : 19]

Allah telah menamai kita sejak zaman dahulu sebagai seorang muslim dan kita umat Muhammad r tidak meridhai Nabi Muhammad diganti, kami tidak meridhai untuk menisbatkan diri kami kepada Syafi’i atau Zaidi atau kepada Wahabi atau selain ini. Mereka itu semua adalah para ulama yang agung yang menganggap jahat orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka.

Saya menasehatkan kepada setiap saudara seagama untuk membaca kitab beliau rahimahullahu yaitu Kitabut Tauhid niscaya kalian akan melihat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Kitab itu adalah kitab yang agung walaupun didalamnya ada hadits-hadits yang dha’if, namun tidaklah memberi mudharat.

Sungguh saya telah menerangkan dalam kitab “An-Nahju Asy-Syadidu” , lihatlah disana

“Janganlah kalian menjadi bunglon tapi hendaklah kalian mengatakan jika manusia berbuat baik maka kami akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat dhalim maka kami akan berbuat dhalim, akan tetapi tanamkanlah dalam jiwa-jiwa kalian jika manusia berbuat baik kalian akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat maka janganlah kalian berbuat jahat.” Wallahumusta’an.”

Itulah pendapat Syaikh Muqbil terhadap orang-orang yang menisbatkan sesuatu yang jelek kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan memberinya julukan Wahabi. Seorang ulama’ yang lain berkata :

“Pada masa lalu Imam Syafi’i dituduh sebagai seorang rafidhi (pengikut syi’ah rafidah), dan beliau (Imam Syafi’i) menjawab : “

Jika orang yang cinta kepada Muhammad itu disebut Rafidhah
Maka saksikanlah wahai manusia bahwa saya Rafidhi

Jika orang yang mengikuti Nabi Muhammad disebut Wahhabi
Maka saya mengikrarkan bahwa diri saya adalah seorang Wahhabi.

(Sumber : http://abusalma.blogspot.com/2005/05/menjawab-tuduhan-batil-terhadap-dakwah.html)


Filed under: Bantahan, Firqoh, Hizbut Tahrir, Manhaj

Info: Taman Surga Kendari “Ad-Dinu An-Nashihah” Ust. Abuz Zubair Al-Hawaary # 23 July 2017 Kendari

Ketika dirimu ditanya tentang sesuatu yang TIDAK ENGKAU KETAHUI atau yang engkau RAGU-RAGU dengan jawabannya; maka JANGANLAH MALU untuk berkata “AKU TIDAK TAHU”

$
0
0

sa nda tauJanganlah malu untuk menjawab “aku tidak tahu” (ketika dirimu ragu atau tidak tahu) karena orang lebih mulia darimu telah mendahuluimu untuk mengucapkannya (yakni malaikatNya, RåsulNya, para shåhabat RåsulNya, dan orang-orang mengikuti mereka dengan baik).

Janganlah malu pula untuk menyerahkan kepada yang lebih ahli darimu untuk menjawabnya karena para salafush shålih pun telah mendahuluimu untuk melakukannya.

Namun hendaknya engkau malu, ketika engkau berkata atas apa-apa yang tidak engkau ketahui.

atau engkau berkata dengan sesuatu yang sebenarnya tidak engkau ketahui.

Wallåhu A’lam

Tentang perkataan “aku tidak tahu”

Maka dalil-dalilnya:

1. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati seluruhnya itu akan ditanya tentangnya” [al Isra:36]

Tafsir ayat:

Qatadah mengatakan:

“Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”

Ibnu Katsir mengatakan:

“Kandungan tafsir yang mereka (para ulama) sebutkan adalah bahwa Allah MELARANG BERBICARA TANPA ILMU, BAHKAN HANYA SEKEDAR SANGKAAN (karena) yang (demikian) itu hanyalah (merupakan) perkiraan dan khayalan ”

[Tafsir Ibnu Katsir:3/43]

2. Allåh Ta’ala berfirman:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

yang artinya:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:

“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”

(al-baqarah 2:31)

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا . إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Mereka (Malaikat) menjawab:

“Maha Suci Engkau, TIDAK ADA YANG KAMI KETAHUI selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

(al-baqarah 2:32)

3. Allåh berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada.”

(Shad: 86)

Ibnu Mas’ud berkata:

“Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”. Karena, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada.”

Ini (perkataan “aku tidak tahu” ketika kita ditanya sesuatu yang tidak kita ketahui) pun merupakan prinsip yang diamalkan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Hadits Muhammad bin Jubeyr

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ َنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ قَالَ فَقَالَ « لاَ أَدْرِى ». فَلَمَّا أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ « يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ ». قَالَ لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ. فَانْطَلَقَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقَالَ َسْوَاقُهَ
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, sesungguhnya ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,

“Wahai rasulullah tempat apakah yang paling buruk?”.

Jawaban Rasul:

لاَ أَدْرِى

“Aku tidak tahu”.

Ketika Jibril datang menjumpai Nabi, beliau bertanya kepada Jibril:

يَا جِبْرِيلُ أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ

“Wahai Jibril, tempat apakah yang paling buruk?”.

Jibril berkata:

لاَ أَدْرِى حَتَّى أَسْأَلَ رَبِّى عَزَّ وَجَلّ

“Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Rabbku (Allåh) azza wa jalla”.

Jibril lantas pergi; kemudian setelah beberapa waktu lamanya, Jibril datang dan berkata:

يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ سَأَلْتَنِى أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ فَقُلْتُ لاَ أَدْرِى

“Wahai Muhammad, engkau pernah bertanya kepadaku tentang tempat yang paling buruk, lalu jawabku adalah aku tidak tahu.

وَإِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ

Hal itu telah kutanyakan kepada tuhanku azza wa jalla,

أَىُّ الْبُلْدَانِ شَرٌّ

‘Tempat apakah yang paling buruk?’.

فَقَالَ َسْوَاقُهَ

JawabNya, “Pasar”.

(HR Ahmad no 16790, namun Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, ‘Sanadnya LEMAH’; namun maknanya BENAR).

Namun dalam riwayat lain, yang lafazh: أسواقها ; maka hadits ini diHASANkan oleh Syaikh al Albaaniy dalam shifatul fatwa

5. Hadits Ibnu Umar

Walaupun hadits diatas dhaif, namun ada hadits serupa dengannya yang sanadnya HASAN. hadits tersebut berbunyi:

عن ابن عمر أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم : أي البقاع شر ؟ قال : ( لا أدري حتى أسأل جبريل ) فسأل جبريل فقال : لا أدري حتى أسأل ميكائيل فجاء فقال : ( خير البقاع المساجد وشرها الأسواق )

قال شعيب الأرنؤوط : حديث حسن

Dari Ibnu Umar, ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tempat apakah yang paling buruk?”.

Jawaban Nabi,

لا أدري حتى أسأل جبريل

“Aku tidak tahu, Kutanyakan dulu kepada Jibril”.

Setelah ditanyakan kepada Jibril, Jibril mengatakan,

لا أدري حتى أسأل ميكائيل

“Aku juga tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Mikail”.

Pada akhirnya, Jibri datang dan mengatakan,

خير البقاع المساجد وشرها الأسواق

“Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat yang paling buruk adalah pasar”.

(HR Ibnu Hibban no 1599. Syeikh Syuaib al Arnauth mengatakan, “Hadits HASAN”).

[dua hadits diatas nukil dari artikel ustadz aris munandar hafizhahullåh, http://ustadzaris.com/katakan-saja-saya-tidak-tahu%5D

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam juga pernah bersabda (dalam HADITS JIBRIL, ketika beliau ditanya tentang kiamat):

مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

“Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.”

(HR. Bukhari, Muslim)

6. Pengamalan Para Shahabat ridwanullåh ‘alayhim jamiy’an

Para shahabat pun dengan gigih mengamalkan sunnah yang mulia ini; pemuka para shåhabat, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, ash-Shidiqul Akbar, Rådhiyallåhu ‘anhu berkata:

“Bumi mana tempatku berpijak, dan langit mana tempatku bernaung; jika aku berbicara tentang kitabullåh (atas) apa yang tidak aku ketahui ilmunya:

[Atsar ini Dhåif, lihat as-silsilah adh-dhåifah (no. 1783); dinukil dari kitab tafsiyr shåhiyh ibnu katsiyr]

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau berkata lagi “Alangkah sejuknya hati ini” (tiga kali). Orang- orang bertanya: “Ya Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?”. Beliau menjawab: “Yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab “Allahu A’lam”.

Ibnu Mas’ud berkata:

Barangsiapa diantara kalian yang memiliki suatu ilmu, hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu, katakanlah dalam permasalahan yang ia tidak ketahui itu : ‘Allaahu a’lam’ (Allah lebih mengetahuinya), karena seorang ulama itu adalah seorang yang jika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia akan mengatakan : ‘Allahu a’lam’. Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya :

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ

‘Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 179 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Beliau juga berkata:

‘Sesungguhnya orang yang memberi fatwa pada setiap orang yang meminta fatwa kepadanya adalah orang gila’. Beliau pun pernah mengingkari orang yang memberanikan diri menghadapi berbagai permasalahan dan jawabannya.

Beliau juga berkata :

“Hendaknya seorang hamba bertaqwa kepada Allah dan melihat apa yang dilihat dan dikatakannya, karena kelak ia akan ditanya (atas apa yang ia lihat dan katakan itu!!)”

[Dibawakan oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adabusy-Syari’ah 2/62, tahqiq/takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth & ‘Umar Al-Qayyaam; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/1419; blog abul jauzaa’].

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaykah, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang sebuah ayat, YANG SEANDAINYA DITANYA KEPADA SELAINNYA NISCAYA ORANG ITU AKAN MENJAWABNYA, namun Ibnu Abbas DIAM, dan tidak berbicara tentangnya..

[Atsar ini SHÅHIIH, lihat tafsir ath-thåbariy (24/229), dinukil dari kitab tafsiyr ibnu katsiir]

Khalid bin Aslam berkata: ” Kami pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, lalu ada seorang A’rabi (dari kampung Arab) menghampiri kami dan berkata: “Apakah engkau Abdullah bin Umar? “, beliau (Abdullah bin Umar) menjawab: ” Iya “, orang dari kampung Arab ini berkata: “Aku bertanya tentang engkau lalu aku diberi unjuk tentang keberadaan engkau, maka sekarang beritahukanlah kepadaku: “Apakah bibi mewarisi? “, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: ” Laa adri (saya tidak tahu) “, orang tersebut berkata: ” Kamu tidak mengetahuinya dan kitapun tidak mengetahuinya, (bagaimana ini?), Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Iya (demikian), pergilah kepada para ulama di kota Madinah, bertanyalah kepada mereka “, ketika hendak pergi orang tersebut mencium kedua tangan Abdullah bin Umar seraya berkata: ” Sungguh baik apa yang dikatakan Abu Abdirrahman (yaitu: Abdullah bin Umar) ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka beliau menjawab: ” Saya tidak tahu “.

(Riwayat Hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra (4/no. 7021) dan disebutkan oleh Ibnu hajar di dalam kitab Taghligh at-Ta’liq (3/hal. 5)dari beberapa riwayat berasal dari Ahmad bin Syu’aib, http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2011/01/27/belajarlah-untuk-mengatakan-%E2%80%9Csaya-tidak-tahu%E2%80%9D/)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: “ Laa adri (saya tidak tahu), kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini “.

(Riwayat shahih oleh al-Fasawi di dalam kitab al-Ma’rifah wa at-Tarikh (1/hal. 266) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih Wa al-Mutafaqqih (2/hal: 364) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Ibnul Mubarak dari haiwah bin Syuraih dari ‘Uqbah bin Muslim; http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2011/01/27/belajarlah-untuk-mengatakan-%E2%80%9Csaya-tidak-tahu%E2%80%9D/).

Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mereka ketahui dengan ucapan “Allahu wa Rasuluhu A’lam” (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui) -dan ini dapat kita lihat dalam banyak hadits-.

dan riwayat-riwayat lain yang semakna yang menjelaskan betapa hati-hatinya para shahabat dari menjaga lisan-lisan mereka untuk berkata sesuatu yang tidak mereka ketahui.

7. Pengamalan para imam salafush shalih, setelah para shahabat

Dan ini pun diikuti oleh imam-imam setelah mereka.

dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata :

“Menjawab dengan jawaban tidak tahu, itu lebih aku sukai daripada harus memaksakan diri menjawab sesuatu yang tidak aku ketahui”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 149 – sanadnya jayyid; blog abul jauzaa’]

dari Ibnu Siiriin, ia berkata :

“Aku tidak peduli, aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui. Jika aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui, maka akan aku katakan apa-apa yang aku ketahui. Namun jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui, maka akan aku katakan : ‘Aku tidak tahu’”

[Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 189 – sanadnya shahih].

‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, ia berkata : Sa’iid bin Jubair pernah ditanya tentang satu permasalahan, lalu ia menjawab : “Aku tidak tahu”. Kemudian ia melanjutkan : “Sungguh celaka orang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui : ‘Sesungguhnya aku mengetahuinya’”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 1568, tahqiq : Abul-Asybaal Az-Zuhairiy; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1414 – sanadnya hasan; blog abul jauzaa].

Imam Asy-Sya’by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Tapi beliau malah ditanya lagi: “Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?”. Asy-Sya’by menjawab: “Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami’ “.

Ibnu Wahb berkata: “Saya mendengar Imam Malik sering berkata ‘saya tidak tahu’, seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi lembaran yang banyak.”

Dari Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata,

“Aku menyaksikan Malik bin Anas (yakni IMAM MALIK -abu zuhriy) ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak tahu.”

(Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 79, dinukil dari: http://salafiyunpad.wordpress.com/2007/11/14/jangan-bermudah-mudah-dalam-berfatwa/)

‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata :

Kami pernah berada di sisi Maalik bin Anas. Lalu datanglah seorang laki-laki dan berkata kepadanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, aku mendatangimu dari daerah yang berjarak enam bulan perjalanan. Penduduk negeriku telah menitipkan satu permasalahan kepadaku untuk aku tanyakan kepadamu”.

Maalik berkata : “Bertanyalah”. Laki-laki itu pun bertanya tentang permasalahannya”. Maalik berkata : “Aku tidak dapat menjawabnya”.

Laki-laki itu bingung/tercengang karena ia beranggapan telah menemui orang yang mengetahui segala sesuatu. Ia berkata : “Apa yang harus aku katakan kepada penduduk negeriku apabila aku kembali kepada mereka nanti ?”. Maalik menjawab : “Katakan saja pada mereka bahwa Maalik tidak bisa menjawab pertanyaan mereka”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 1573 – sanadnya shahih; blog abuljauzaa’].

Ibnu Wahb, ia berkata : Maalik pernah berkata kepadaku – dan ia mengingkari banyaknya jawaban terhadap pertanyaan (yang diajukan) – : “Wahai ‘Abdullah, apa-apa yang engkau ketahui, maka katakanlah dan tunjukkanlah hal itu. Adapun yang tidak engkau ketahui, maka diamlah darinya. Janganlah engkau mengikuti manusia seperti qiladatu sau’”

[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr Jaami Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2080 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Imam Maalik berkata:

“Sepatutnya bagi seorang ‘aalim (ulama) untuk mengatakan kepada teman-temannya : ‘aku tidak tahu’; sehingga hal itu menjadi asal dan penolong bagi mereka saat ia ditanya permasalahan yang tidak diketahui, lalu ia akan menjawab : ‘aku tidak tahu’”

[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal 2/271 no. 809, tahqiq : Prof. Muhammad Dliyaaur-rahman Al-A’dhamiy; Adlwaaus-Salaf, Cet. 2/1420 – sanadnya shahih; blog abul jauzaa’].

Demikian pula al-Imaam al-Bukhåriy, beliau berkata dalam kitab shåhihnya:

باب : العلم قبل و العمل

“Baab: Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”.

Perkataan beliau ini beliau sandarkan kepada firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”

(QS. Muhammad [47]: 19).

Ibnul Munir rahimahullah berkata,

“Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat diterima benarnya suatu perkataan dan perbuatan.

Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu.

Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”

(Fathul Bari, 1/108)

Sufyan ats-Tsauriy berkata:

“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, (setelah mendapatkan ilmu, maka kita) mengamalkannya, menghafalnya dan menyampaikannya.”

[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]

Ada nasehat yang sangat berharga dari Abu Dziyal:

“Belajarlah mengucapkan ‘saya tidak tahu’, jangan kamu belajar mengucapkan ‘saya tahu’. Karena, jika kamu mengatakan ‘saya tidak tahu’, kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan ‘saya tahu’, kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan ‘tidak tahu’ “.

Tentang menyerahkan kepada ahlinya

Adapun dalil tentang dianjurkan untuk menyerahkan ‘tugas menjawab’ kepada yang lebih ahli dari kita adalah:

Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

maka bertanyalah kepada AHLIDZ DZIKR jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)

Dijelaskan oleh para ulama ahli tafsir makna ahlidz dzikr diatas adalah AHLI ILMU.

Dan ayat diatas DIAMALKAN sebaik-baiknya oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang ketika ditanya sesuatu yang tidak diketahuinya, beliau menanyakannya kepada jibril, bahkan Jibril yang tidak mengetahuinya menanyakannya kepada Mikail, yang kemudian mereka bertanya kepada Allah (Sang Pemilik Ilmu).

Bahkan sekalipun kita mengetahuinya, namun kita mendapati orang yang LEBIH BAIK ilmunya dari kita, maka kita hendaknya menyerahkannya kepada mereka. Diriwayatkan dari ’Abdurrahman bin Abi Laila berkata,

“Aku telah bertemu dengan 120 (SERATUS DUA PULUH ORANG) sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya yang lain-nyalah yang menjawabnya…”

(HR Ad-Daarimi (53), Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (VI/110), Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (58), al-Fasawi dalam kitab al-Ma’rifah wat Taariikh (II/817-818)).

Imam Asy Syafi’I berkata :

“Tidak halal bagi seorangpun berfatwa dalam agama Allah kecuali orang yang berilmu tentang kitabullah, nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, ta’wil dan tanzilnya, makki dan madaninya dan apa yang diinginkan darinya. Kemudian ia mempunyai ilmu yang dalam mengenai hadits Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana ia mengenal Al Qur’an. Mempunyai ilmu yang dalam mengenai bahasa arab, sya’ir-sya’ir arab dan apa yang dibutuhkan untuk memahami al qur’an, dan ia mempunyai sikap inshaf (adil) dan sedikit berbicara. Mempunyai keahlian dalam meyikapi perselisihan para ulama. Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, silahkan ia berbicara tentang ilmu dan berfatwa dalam masalah halal dan haram, dan barang siapa tidak memilikinya maka ia hanya boleh berbicara tentang ilmu namun tidak boleh berfatwa “.

(Shahih faqih wal mutafaqqih hal 390; artikel ustadz badru).

Semoga bermanfa’at

Sumber: abuzuhriy.wordpress.com


Filed under: Adab, Dakwah

Info Kajian: “BEROBAT DENGAN AL QUR’AN” Ust. Abdullah Taslim MA. # 16 Juli 2017 – Madiun

$
0
0

#Madiun Mengaji

KAJIAN ILMIAH
Bersama Ustadz Abdullah Taslim, Lc, MA

“BEROBAT DENGAN AL QUR’AN”
(Mengenal Ruqyah Syar’iyyah)

Hari, tanggalnya :
Ahad, 22 Syawal 1438 H/16 Juli 2017 M

Jamnya :
09.00 – 11.30 WIB

Tempatnya :
Masjid Nashrus Sunnah
Jl. Koperasi 68, Banjarejo MADIUN*

Ajak keluarga, saudara dan teman menghadiri Kajian Ilmiah ini. Terbuka bagi umum, pria/wanita.

Semoga Allah memudahkan langkah kita menuju taman-taman Surga.

Baarakallahu fiikum.

Support dan info, hubungi:
0813 3547 1175

KitaFm Madiun

20031692_1385280454840467_6586775036795093527_n.jpg


Filed under: Al-Qur'an, DAUROH, Kajian Umum

Agar Tidak Serumah Dengan Syhaitan

$
0
0

IMG_1289Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA

Semua orang ingin memiliki rumah yang tentram dan nyaman. Sayangnya, dalam usaha mewujudkan keinginan ini, kebanyakan orang baru sekedar melakukan hal-hal yang bersifat duniawi. Yakni dengan mendirikan bangunan yang megah dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas penunjang. Selama tidak berlebihan, sebenarnya itu boleh saja. Namun yang memprihatinkan, mereka lupa bahwa inti kenyamanan dan ketentraman rumah sebenarnya justru bersumber dari ketenangan hati penghuninya. Yang itu akan dicapai manakala mereka rajin beribadah dan memanfaatkan tempat tinggalnya untuk hal-hal yang diridhai Allâh Azza wa Jalla.

Apa saja yang perlu kita lakukan di rumah kita, supaya tempat tinggal kita nyaman dan damai? Juga agar rumah kita tidak menjadi tempat favorit para syaitan? Diantara yang perlu kita perhatikan adalah:

Pertama: Mengucapkan salam sebelum[1] masuk rumah

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ؛ “…وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلَامٍ…”.

Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga orang yang dijaga oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ; (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan yang ketiga adalah) … orang yang memasuki rumahnya dengan mengucapkan salam…”. [HR. Abu Dawud dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hâkim. Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan hadits ini hasan.[2]]

Salam ini tetap kita ucapkan, baik di dalam rumah ada orang maupun tidak.[3] Sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Apabila kalian memasuki rumah-rumah hendaklah kalian memberi salam kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allâh. [An-Nûr/24:61]

Menurut Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , jika di rumah tidak ada orang, maka redaksi salamnya adalah:

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

Salam sejahtera atas kami dan para hamba Allâh yang shalih[4]

Kedua: Mengucapkan basmalah saat masuk rumah.

Diantara yang perlu kita lakukan agar syaitan tidak menjadikan rumah kita menjadi tempat tinggalnya adalah mengucapkan basmalah saat memasuki rumah. Rasûlullâh n bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ،

وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: “أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ” وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

Apabila seseorang memasuki rumahnya dan berdzikir kepada Allâh (dengan membaca basmalah) tatkala masuk dan makan, syaitan akan berkata (kepada kawan-kawannya-red), “Kalian tidak mendapatkan tempat menginap dan makan malam (di rumah ini).

Dan jika ia masuk namun tidak membaca basmalah, syaitan akan berkata (kepada kawan-kawannya-red), “Kalian mendapatkan tempat menginap”, dan jika ia tidak membaca basmalah sebelum makan niscaya syaitan akan berkata, “Kalian mendapatkan tempat menginap dan makan malam”. [HR. Muslim, XIII/190 no. 5230 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu]

Ketiga: Mengucapkan basmalah saat menutup pintu dan perkakas rumah

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ

Jika hari mulai gelap tahanlah anak-anak kalian (agar tidak keluar rumah) karena saat itu syaitan berkeliaran. Jika telah lewat sebagian malam biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan ucapkanlah basmalah, karena sesungguhnya syaitan tidak akan bisa membuka pintu yang tertutup. Tutuplah teko kalian dan ucapkanlah basmalah. Tutupilah bejana kalian walaupun dengan meletakkan sesuatu di atasnya dan bacalah basmalah. Matikanlah lampu kalian. [HR. Al-Bukhâri, no. 3280 dan Muslim, XIII/185, no. 5218 dari Jabir bin Abdullah dengan redaksi Imam Muslim]

Diantara yang harus kita lakukan jika kita menginginkan rumah rumah kita damai dan tentram adalah memakmurkan rumah dengan ibadah dan membaca al-Qur’an. Ini yang keempat.

Syaitan tidak akan mendekati rumah yang dibacakan di dalamnya al-Qur’an. Kalaupun sudah berada di dalamnya maka ia akan lari terbirit-birit keluar darinya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفَيْ عَامٍ، أَنْزَلَ مِنْهُ آيَتَيْنِ خَتَمَ بِهِمَا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَلَا يُقْرَأَانِ فِي دَارٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَيَقْرَبُهَا شَيْطَانٌ

Sesungguhnya Allâh telah menulis kitab dua ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Dia turunkan darinya dua ayat yang dijadikan sebagai penutup surat al-Baqarah. Tidaklah dibaca di suatu rumah selama tiga malam melainkan syaitan tidak akan mendekatinya”. [HR. At-Tirmidzi dari an-Nu’man bin Basyîr Radhiyallahu anhu dan dinyatakan shahih oleh al-Hâkim rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ! إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah kalian jadikan rumah kalian (seperti) kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah. [HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Hadits ini memotivasi kita untuk memperbanyak ibadah di rumah, terutama shalat yang hukumnya sunnah dan membaca al-Qur’an; supaya rumah kita tidak mirip kuburan atau jasad yang mati.[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan:

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Lakukanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian. Jangan jadikan rumah kalian kuburan. [HR. Al-Bukhâri dari Ibn Umar Radhiyallahu anhuma]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

خَيْرُ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

Sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib. [HR. Ibnu Khuzaimah dari Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu]

Adapun rumah yang dipenuhi dengan suara dangdutan, gendingan atau yang semisal maka akan menjadi tempat favorit syaitan ; sebab suara tersebut adalah seruling mereka. Sebagaimana ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla.

نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ، صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعْبٍ وَمَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ لَطْمِ وُجُوْهٍ وَشَقِّ جُيُوْبٍ”.

Aku melarang dua suara dungu dan keji. (Pertama) Suara senandung sia-sia dan permainan serta seruling syaitan. (Kedua) Suara saat musibah berupa memukuli wajah dan merobek-robek baju”. [HR. Al-Hâkim dari Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani)

FAIDAH PENTING:

Hadits larangan menjadikan rumah seperti kuburan menunjukkan bahwa kuburan bukanlah tempat yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di dalamnya, kecuali yang ada dalilnya. Sebagaimana dijelaskan para Ulama, antara lain: Ibn Batthal (w. 449 H)[6], al-Baghawi (w. 510 H )[7], Ibn Rajab (w. 795 H)[8] dan Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H)[9].

Inilah beberapa hal yang harus dilakukan oleh siapa saja yang menginginkan rumahnya aman, damai dan tentram.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan rumah-rumah kaum Muslimin aman, damai dan tentram.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] Almanhaj
_______
Footnote
[1] Cermati: Al-Adzkâr karya an-Nawawi (hlm. 373-374).

[2] Lihat: Ibid (hlm. 50).

[3] Periksa: Ahkâm al-Qur’ân karya Ibn al-‘Arabi (III/321-322), Tafsîr al-Qurthubi (XV/354-355), al-Adzkâr (hlm. 49) dan Tafsîr as-Sa’dy (hlm. 524).

[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad (II/592, no. 1055) dan sanadnya dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bâri (XI/26)

[5] Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi karya al-Mubârakfûri (II/531)

[6] Baca: Syarh Shahih al-Bukhary (II/86).

[7] Cermati: Syarh as-Sunnah (II/411).

[8] Periksa: Fath al-Bary karya beliau (III/232).

[9] Lihat: Fath al-Bary karya beliau (I/528) cet al-Maktabah as-Salafiyyah.


Filed under: Amalan, Aqidah

Bolehkah Sholat Menghadap Kuburan?

$
0
0

BOLEH SHOLAT MENGHADAP KUBURAN?
(Kritikan terhadap al-Ustadz Abdussomad -hafizohullah- tentang pemahaman beliau terhadap hadits “Janganlah sholat mengarah ke kuburan”)

Tentu saling mengingatkan demi kebaikan adalah kebiasaan para ulama, nasihat dan masukan jika tujuannya baik dengan uslub yang baik tentu lebih bermanfaat. Sebelumnya saya pernah mengkritik beliau di link berikut (“Imam Syafi’i menyatakan pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat?”)

Permasalahan pengagungan terhadap kuburan mendapat perhatian khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pengagungan terhadap kuburan yang berlebihan bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Karenanya semua perkara yang mengantarkan terhadap pengagungan terhadap kuburan dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya :

– Nabi melarang menulis di kuburan serta melarang menyemen kuburan
– Nabi melarang memasang lampu di kuburan
– Nabi melarang meninggikan kuburan
– Nabi melarang sholat ke arah kuburan
– Bahkan Nabi pernah melarang menziarahi kuburan karena kawatir akan kesyirikan, namun setelah itu Nabi menganjurkan karena ada maslahat yang besar, yaitu untuk mengingat kematian.

 

Al-Muhallab berkata :

ومعنى النهى عن زيارة القبور، إنما كان فى أول الإسلام عند قربهم بعبادة الأوثان، واتخاذ القبور مساجد، والله أعلم، فلما استحكم الإسلام، وقوى فى قلوب الناس، وأمنت عبادة القبور والصلاة إليها، نسخ النهى عن زيارتها، لأنها تذكر الآخرة وتزهد فى الدنيا

“Dan makna dari larangan menziarahi kuburan yaitu hanyalah dilarang tatkala di permulaan Islam, tatkala mereka baru saja (*terlepas) dari menyembah berhala dan menjadikan kuburan sebagai masjid –wallahu A’lam-. Maka tatkala Islam sudah kokoh dan kuat di hati-hati manusia dan aman dari (*timbulnya) peribadatan kuburan dan sholat ke arah kuburan maka dinaskh (*dihapuslah) larangan menziarahi kuburan, karena dengan berziarah kuburan akan mengingatkan akhirat dan menjadikan zuhud dalam dunia” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Battool dalam Syarh shahih Al-Bukhari, tahqiq Abu Tamiim Yasir bin Ibrahim, Maktabah Ar-Rusyd 3/271)

Al-Munaawi berkata ;

(كنت نهيتكم عن زيارة القبور) لحدثان عهدكم بالكفر وأما الآن حيث انمحت آثار الجاهلية واستحكم الإسلام وصرتم أهل يقين وتقوى (فزوروا القبور) أي بشرط أن لا يقترن بذلك تمسح بالقبر أو تقبيل أو سجود عليه أو نحو ذلك فإنه كما قال السبكي بدعة منكرة إنما يفعلها الجهال

“(sabda Nabi) “Aku pernah melarang kalian dari ziaroh kuburan” karena kalian baru saja meninggalkan kekufuran. Adapun sekarang tatkala telah hilang sisa-sisa jahiliyah dan telah kokoh Islam dan jadilah kalian orang-orang yang yakin dan takwa ((Maka ziarahilah kuburan)) yaitu dengan syarat tidak disertai dengan mengusap kuburan atau mencium kuburan atau sujud di atasnya atau yang semisalnya, karena hal itu -sebagaimana perkataan As-Subkiy- adalah bid’ah yang mungkar, hanyalah orang-orang jahil (bodoh) yang melakukannya” (Faidhul Qodiir 5/55, lihat juga At-Taisiir bi syarh Al-Jaami’ As-Shoghiir 2/439)

Diantara larangan-larangan Nabi adalah sholat ke arah kuburan. Dari Abu Martsad Al-Gonawi ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ

“Janganlah kalian sholat mengarah ke kuburan” (HR Muslim No. 972)

Larangan tersebut tidak lain adalah bentuk pencegahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar kita tidak sholat mengarah ke kuburan agar jangan sampai akhirnya kuburan diagungkan dan akhirnya disembah !!. Jadi larangan tersebut berkaitan dengan orang yang sholat menyembah Allah akan tetapi pelaksanaan sholatnya menghadap ke kuburan.

Maka dari sini jelas bahwa pelarangan tersebut berkaitan dengan pelarangan “sarana” bukan pelarangan tujuan yang dikawatirkan. Karena kalau maksud dari larangan tersebut adalah larangan menyembah kuburan tentu para sahabat sudah memahaminya bahwa hal tersebut merupakan kesyirikan dan kekufuran, dan tidak perlu Nabi mengingatkan secara khusus, karena para sahabat semuanya mengerti bahwa menyembah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Tapi yang ingin diingatkan oleh Nabi adalah mencegah sarana yang bisa mengantarkan kepada tujuan kesyirikan.

Namun al-Ustadz memahami makna hadits ini adalah “Larangan menyembah penghuni kubur”, sehingga sholat menghadap kuburan itu boleh selama yang disembah adalah Allah dan bukan penghuni kuburan.

Berikut transkrip pertanyaan yang ditujukan kepada sang ustadz beserta jawaban sang ustadz.

[Pertanyan] : Saya ingin bertanya tentang sholat, sekarang nampaknya sudah ada pendapat tumpang tindih ada yang tidak mau sholat di masjid yang di sebelahnya ada kuburan, apakah memang ada dalilnya atau bagaimana pak ustadz?, mohon penjelasan agar pendapat ini tidak menjadi buah pikiran bagi kami.

(Jawaban sang ustadz diantaranya) : “Kalau orang tidak mau sholat karena di dekat masjid tidak mau ada kubur, berarti selama di masjid nabawi dia tak sholat di masjid nabawi karena di dekat masjid nabawi ada kubur. Kalau dia berdalih di dalam masjid nabawi kan kubur nabi Muhammad, Yang nabi kan Muhammad nabi tak papa yang di samping ada makam abu bakar ada makam umar.

Lalu Apa makna tak boleh sujud ke kubur ? Laa tasjuduu janganlah kamu sujud ke kubur, sujud dia menyembah kubur.

Hadits ini bercerita tentang apa ?, hadits ini menyindir orang bani Israil yang menyembah makam pendeta2 mereka. Sekarang yang ada di vatikan di roma yang mereka sembah itu makam namanya santo Thomas, santo artinya orang suci orang suci tidak berdosa dibangunlah makamnya sujudnya kesitu. Saya mau menengok mana orang Kampar kiri hilir yang menyembah kubur, tak ada….”

Al-Ustadz juga berkata, “Dan kita tidak ada satupun kalau dia (kuburan-pent) buat samping ada dinding kiri kanan maka tak satupun sujud ke kubur karena meminta ke kubur.

Kalau nanti dia berdalil setiap tanah ada kubur maka tidak boleh sholat di tempat itu, orang yang mengatakan demikian itu dia tidak akan sholat di masjid manapun, kenapa?

Karena setiap tanah kalau diurut pasti ada kubur. Oke sebelah sini tak ada kubur kalau terus ke depan sana?. Bumi bulat apakah jamin tak ada kubur? Tetap jamin ada kubur, satu meter ke depan ada kubur, oleh karena itu makna hadits dipahami tak boleh sujud ke kubur karena meminta kepada yang di kubur dan kronolginya menyindir bani isroil yang menyembah makam nabi dan orang sholeh diantara mereka”

Komentar :

Pertama : Pendapat al-Ustadz ini menyelisihi pemahaman para ulama tentang hadits ini -terutama para ulama syafi’iyyah-.

Perhatikan pernyataan al-Imam An-Nawawi rahimahullah :

وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ إلَى الْقُبُورِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ صَالِحًا أَوْ غَيْرَهُ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ الزعفراني رحمه الله ولا يصلي إلي قبر وَلَا عِنْدَهُ تَبَرُّكًا بِهِ وَإِعْظَامًا لَهُ لِلْأَحَادِيثِ والله أعلم

“Dan telah sepakat pernyataan al-Imam Asy-Syafi’i dan para ulama syafi’iyyah akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan. Sama saja apakah mayatnya terkenal akan kesholihannya atau tidak, karena keumuman hadits-hadits. Al-Imam Asy-Syafi’i dan para ulama besar syafi’iyah berkata ; “Dan makruh sholat mengarah ke kuburan, sama saja apakah mayatnya sholih atau tidak”. Berkata al-Hafiz Abu Musa : “Berkata Al-Imam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimahullah : “Tidak boleh sholat mengarah ke kuburan, dan tidak boleh sholat di sisi kuburan dalam rangka mencari berkah dan mengagungkannya karena hadits-hadits” (Al-Majmuu’ 5/316-317)

Ibnu Hajar berkata :

قَوْلُهُ وَمَا يُكْرَهُ مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْقُبُورِ يَتَنَاوَلُ مَا إِذَا وَقَعَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْقَبْرِ أَوْ إِلَى الْقَبْرِ أَوْ بَيْنَ الْقَبْرَيْنِ وَفِي ذَلِكَ حَدِيثٌ رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ طَرِيقِ أَبِي مِرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ مَرْفُوعًا لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا أَوْ عَلَيْهَا

“Perkataan Imam Al-Bukhari ((Dan dibencinya sholat di kuburan)), maka mencakup jika sholat dilakukan (*1) di atas kubur atau (*2) ke arah kubur atau (*3) di antara dua kubur. Dan tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Martsad Al-Ghonawi secara marfuu’ “Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah kalian sholat ke (arah) kuburan atau di atas kuburan”” (Fathul Baari 1/524).

Kedua : Karenanya para ulama syafi’iyyah berbeda pendapat tentang hukum sholat ke arah kuburan apakah hukumnya makruh atau haram. Dan al-Imam An-Nawawi rahimahullah lebih condong kepada pendapat haramnya sholat ke arah kuburan. Beliau berkata :

وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ إلَى الْقَبْرِ هَكَذَا قَالُوا يُكْرَهُ وَلَوْ قِيلَ يَحْرُمُ لِحَدِيثِ أَبِي مَرْثَدٍ وَغَيْرِهِ مِمَّا سَبَقَ لَمْ يَبْعُدْ

“Dan makruh sholat ke arah kuburan” -demikianlah perkataan mereka (para ulama syafi’iyyah)-, kalau seandainya dikatakan “Dan haram” karena hadits Abu Martsad dan hadits yang lainnya maka tidak jauh pendapat ini (dari kebenaran)” (Al-Majmuu’ 3/158)

Jika makna hadits Abu Mirtsad “Jangan sholat ke arah kuburan” adalah “Janganlah sholat menyembah penghuni kubur” maka tentu tidak ada khilaf di kalangan para ulama akan haramnya, bahkan tidak ada khilaf bahwasanya ini adalah kekufuran dan kesyirikan !.

 

Ketiga : Sebagian ulama syafi’iyah semakin mempertegas larangan sholat menghadap kuburan jika kuburan tersebut adalah kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Zakariya Al-Anshoori berkata “

(وَ) يُكْرَهُ (اسْتِقْبَالُ الْقَبْرِ فِيهَا) أَيْ فِي الصَّلَاةِ لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إلَيْهَا» وَيُسْتَثْنَى قَبْرُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَيَحْرُمُ اسْتِقْبَالُهُ فِيهَا

“Dan dibenci sholat menghadap kuburan karena hadits dalam shahih Muslim “Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian sholat menghadap kuburan”. Dan dikecualikan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka haram (bukan sekedar makruh-=pent) sholat menghadap kuburannya” (Asna al-Mathoolib 1/174)
Keempat : Sebagian ulama syafi’iyah dengan tegas menyatakan bahwa sholat ke arah kuburan -terutama kuburan para nabi- dilarang karena bisa mengantarkan kepada kesyirikan.

Ibnu Hajar al-Haitami tatkala menjelaskan tentang haramnya sholat menghadap kuburan para nabi beliau berkata :

لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إلَى الشِّرْكِ

“Karena hal itu mengantarkan kepada kesyirikan” (Tuhfatul Muhtaaj 2/168)

An-Nawawi berkata :

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِليْهَا) فيه تصريح بالنهى عن الصلاة إلى القبر قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَكْرَهُ أَنْ يُعَظَّمَ مَخْلُوقٌ حَتَّى يُجْعَلَ قَبْرُهُ مَسْجِدًا مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ النَّاسِ

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (….dan janganlah kalian sholat ke arah kuburan) di sini ada penegasan tentang larangan sholat menghadap kuburan. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : Dan aku benci makhluk diagungkan hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atas nya dan atas orang-orang yang setelahnya” (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 7/38)

Kelima : Sebagian ulama syafi’iyyah menjadikan sholat ke arah kuburan termasuk dosa besar. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :

الْكَبِيرَةُ الثَّالِثَةُ وَالرَّابِعَةُ وَالْخَامِسَةُ وَالسَّادِسَةُ وَالسَّابِعَةُ وَالثَّامِنَةُ وَالتِّسْعُونَ: اتِّخَاذُ الْقُبُورِ مَسَاجِدَ، وَإِيقَادُ السُّرُجِ عَلَيْهَا، وَاِتِّخَاذُهَا أَوْثَانًا، وَالطَّوَافُ بِهَا، وَاسْتِلَامُهَا، وَالصَّلَاةُ إلَيْهَا

“Dosa besar yang ke 93, 94, 95, 96, 97, dan 98 adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan api (penerangan) di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai berhala, thowaf di kuburan, mengusap kuburan (*dengan maksud ibadah-pen), dan sholat ke arah kuburan” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroof Al-Kabaair juz 1 hal 154)

Perhatikanlah, al-Imam Adz-Dzahabi membedakan 2 dosa, antara dosa sholat ke arah kuburan, dan dosa menyembah kuburan (dengan menjadikannya sebagai berhala). Oleh karenanya ini semakin mempertegas bahwa makna hadits Nabi “Janganlah sholat ke arah kuburan” bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh al-Ustadz Abdussomad -hafizohullah- yaitu “Janganlah kalian menyembah kuburan” !

Ibnu Hajar al-Haitami tatkala mensyarah perkataan al-Imam Adz-Dzahabi di atas beliau berkata :

وَاِتِّخَاذُ الْقَبْرِ مَسْجِدًا مَعْنَاهُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ أَوْ إلَيْهِ

“Dan (larangan Nabi -pent) menjadikan kuburan sebagai masjid maknanya adalah sholat di atasnya atau sholat ke arah kuburan”

Beliau juga berkata :

نَعَمْ قَالَ بَعْضُ الْحَنَابِلَةِ: قَصْدُ الرَّجُلِ الصَّلَاةَ عِنْدَ الْقَبْرِ مُتَبَرِّكًا بِهَا عَيْنُ الْمُحَادَّةِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِبْدَاعُ دِينٍ لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ لِلنَّهْيِ عَنْهَا ثُمَّ إجْمَاعًا، فَإِنَّ أَعْظَمَ الْمُحَرَّمَاتِ وَأَسْبَابِ الشِّرْكِ الصَّلَاةُ عِنْدَهَا وَاِتِّخَاذُهَا مَسَاجِدَ أَوْ بِنَاؤُهَا عَلَيْهَا. وَالْقَوْلُ بِالْكَرَاهَةِ مَحْمُولٌ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ إذْ لَا يُظَنُّ بِالْعُلَمَاءِ تَجْوِيزُ فِعْلٍ تَوَاتَرَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَعْنُ فَاعِلِهِ، وَتَجِبُ الْمُبَادَرَةُ لِهَدْمِهَا وَهَدْمِ الْقِبَابِ الَّتِي عَلَى الْقُبُورِ إذْ هِيَ أَضَرُّ مِنْ مَسْجِدِ الضِّرَارِ لِأَنَّهَا أُسِّسَتْ عَلَى مَعْصِيَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأَنَّهُ نَهَى عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِهَدْمِ الْقُبُورِ الْمُشْرِفَةِ، وَتَجِبُ إزَالَةُ كُلِّ قِنْدِيلٍ أَوْ سِرَاجٍ عَلَى قَبْرٍ وَلَا يَصِحُّ وَقْفُهُ وَنَذْرُهُ

Benar, bahwasanya sebagian ulama madzhab hambali menyatakan : Seseorang yang mengerjakan sholat di kuburan dalam rangka mencari keberkahan merupakan bentuk penentangan terhadap Allah dan RasulNya, dan merupakan bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah karena ada larangan akan hal ini, kemudian adanya ijmak (*para ulama yang melarang hal ini), karena sesungguhnya keharaman yang sangat besar dan sebab yang sangat besar menuju kesyirikan adalah sholat di kuburan dan menjadikan kuburan sebagai masjid dan membangun masjid di atas.

Dan pendapat yang menyatakan makruh di bawakan kepada selain hal itu, karena tidaklah dipersangkakan kepada para ulama untuk membolehkan suatu perbuatan yang telah mutawatir (*sangat masyhur) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya pelakunya terlaknat. Dan wajib bersegera untuk menghancurkan bangunan di atas kuburan dan menghancurkan kubah-kubah yang berada di atas kuburan karena kubah-kubah itu lebih berbahaya daripada masjid dhiroor, karena kubah-kubah tersebut di bangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi melarang hal itu dan memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan yang tinggi. Dan wajib untuk meniadakan seluruh lampu dan penerangan di atas kuburan, dan tidak sah wakaf dan nadzar untuk menyalakan lampu dikuburan” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroof al-Kabaair juz 1 hal 155)

 

Keenam : Kalau kita baca seluruh pembahasan ulama -dari madzhab manapun- tatkala menjelaskan hadits ini (janganlah kalian sholat ke arah kuburan) maka mereka semuanya sedang membahas hukum orang yang sholat menyembah Allah akan tetapi sholatnya ke arah kuburan. Sama sekali tidak ada yang membahas tentang sholatnya orang yang menyembah penghuni kubur, karena hal ini tentu sudah jelas kekufuran.

 

Mataram, Lombok 24 syawwal 1438/18 juli 2107
Firanda Andirja
Sumber: www.firanda.com

 


Filed under: Bantahan, HADITS

Akhirnya Saya Tahu, Bank Syariah Dzalim

$
0
0

bankDidzalimi Bank Syariah

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ala rasulillah, wa ba’du,

Entah sudah berapa orang yang curhat ke saya mengenai utang… dan hampir semuanya nasabah bank syariah. Saya mohon maaf jika harus cerita. Bukan dalam rangka menyudutkan instansi tertentu, tapi saya berharap bisa menjadi pelajaran bagi yang lainnya.

Mereka yang curhat ke saya, bukan tipe manusia membutuhkan. Mereka rata-rata orang yang memiliki status sosial. Dari sisi karir, di atas umumnya masyarakat. Ada dokter, ada bidan, ada pengusaha minyak, ada karyawan perusahaan perusahaan luar negeri, hingga karyawan perusahaan tambang. Mereka bukan orang membutuhkan. Bahkan di tengah masyarakatnya, mereka tergolong orang kaya..

Tapi… beda lahir dengan batinnya. Di permukaan, mereka terlihat kaya, ternyata di dalam mereka menyimpan kesedihan dan segudang masalah. Terutama jerat utang riba.

Saya sendiri merasa heran, hingga kini saya belum pernah mendengar keluhan masalah utang dari tukang becak, pedagang asongan, para pemulung, para kuli bangunan, atau para buruh tani.

Dari situlah, saya penasaran. Dari mana mereka bisa terjerat utang? Setelah mendengar cerita mereka, saya mendapatkan kesimpulan yang sama… ternyata dunia itu candu…

Mereka mulai utang bank, ketika mereka ingin memperbesar pemasukan atau memperbanyak aset. Mereka merasa sangat yakin, dengan karir bagus yang saat itu mereka jalani, sangat mudah bagi mereka untuk membayar cicilan dan melunasi utang bank. Di saat itulah mereka undang bank.

Karena alasan khawatir terjerat riba, mereka tidak sembarangan memilih bank. Mereka pilih, bank yang berlabel syariah.

Proses berjalan, setelah utang dikucurkan, misi tahap awal dilakukan. Ada yang beli aset, ada yang memulai membuka usaha, dan sebagian untuk menampakkan kemewahan. Tradisi hedonis ternyata belum hilang.

Ketika usaha berlangsung lancar, bank yang lain membuka kran yang sama. Muncul obsesi mengembangkan usaha…

Benar, apa kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ

Andai manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, mereka akan mencari lembah emas yang kedua. Andai dia diberi 2 lembah penuh emas, mereka akan mencari lembah ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut manusia, kecuali tanah. (HR. Bukhari 6438 & Muslim 1462)

Qadarullah, masalah mulai berdatangan. Ternyata, perkembangan usahanya tidak lebih cepat dibandingkan bunga yang diminta bank syariah. Di saat itulah mereka mulai bercerita,

“Saya sudah berkali-kali melayangkan surat keringanan ke bank syariah, tapi ternyata tidak dihiraukan…”

“Saya sedih, saya mulai sadar kedzaliman bank syariah…”

“Dulu saya berfikir, kerja sama dengan bank syariah tidak akan seperti ini… tapi ternyata, bisa lebih parah dibandingkan konven.”

Mereka mulai melemparkan kritik, karena sebagai korban. Kita memaklumi jika ada kesan agak keras.

Bank apapun tidak akan datang ketika sedang dalam posisi tersungkur. Bank hanya akan datang, pada saat anda dinilai di posisi naik… jadi wajar, justru mereka yang berkarir baik, yang banyak menjadi ‘klien utang’ bank.

Inilah yang disebut penyakit istibtha’. Obsesi untuk cepat kaya, cepat sukses, memperbesar usaha, padahal belum waktunya. Ditipu dengan dunia, untuk meraup dunia yang lebih buanyak lagi…

Allah ingatkan dalam al-Quran,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar. Karena itu, janganlah kalian tertipu dengan kehidupan dunia. (QS. Fathir: 5)

Mengenai karakter istibtha’, obsesi untuk cepat kaya, cepat sukses, sebelum waktunya, dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya,

أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian memiliki penyakit istibtha’ dalam masalah rizki. (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi).

Penyakit istibtha’, merasa rizki terlambat, kurang melimpah, banyak punya aset, adalah pemicu terbesar untuk utang.

Padahal sehebat apapun usaha yang kita lakukan,  tidak akan melampaui jatah rizki kita…

Bagi anda yang berkarir baik, penghasilan, perhatikan, dunia itu candu… waspadai obsesi memperbesar kran penghasilan, melalui tawaran utang…

Semoga kita bukan korban berikutnya…

Allahu a’lam.

Sumber: PengusahaMuslim.com

 


Filed under: Muamalah, Nasehat, Riba

Menggunakan Harta untuk Selain Ketaatan kepada Allah

$
0
0

Menggunakan Harta untuk Selain Ketaatan kepada AllahMenginfaqkan Harta untuk Ketaatan

Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ibnul Qoyim menyebutkan, berinfak untuk selain ketaatan kepada Allah, bentuknya ada 2:

  • [1] Berinfaq untuk kebanggaan, berharap mendapatkan pujian dimasyarakat.
  • [2] Menggunakan harta untuk maksiat atau menghalangi seseorang untuk melakukan ketaatan kepada Allah.

Allah membuat permisalan untuk manusia yang menginfakkan hartanya untuk selain ketaatan kepada Allah melalui firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang mendzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Ali Imran: 116-117)

Ibnul Qoyim menjelaskan ayat ini,

هذا مثل ضربه الله تعالى لمن أنفق ماله في غير طاعته ومرضاته فشبه سبحانه ما ينفقه هؤلاء من أموالهم في المكارم والمفاخر وكسب الثناء وحسن الذكر لا يبتغون به وجه الله وما ينفقونه ليصدوا به عن سبيل الله واتباع رسله بالزرع الذي زرعه صاحبه يرجو نفعه وخيره فأصابته ريح شديدة البرد جدا يحرق بردها ما يمر عليه من الزرع والثمار فأهلكت ذلك الزرع وأيبسته

Ini merupakan permisalan yang diberikan oleh Allah untuk orang yang menginfakkan hartanya untuk selain ketaatan kepada-Nya dan tidak mengharap ridha-Nya. Harta yang mereka infakkan untuk kebanggaan, atau mencari pujian, tidak untuk mengharap wajah Allah, dan harta yang diinfakkan untuk menghalangi masyarakat dari jalan Allah dan mengikuti rasul-rasul-Nya, Allah misalkan seperti tanaman, yang sudah ditanam oleh petaninya dengan harapan akan mendapat manfaat dan hasilnya, namun tanaman itu diterpa angin yang sangat dingin, sehingga merusak pohon dan buahnya. Tanaman itu rusak menjadi kering.

Kemudian Ibnul Qoyyim melanjutkan,

وفي قوله أصابت حرث قوم ظلموا أنفسهم تنبيه على أن سبب إصابتها لحرثهم هو ظلمهم فهو الذي سلط عليهم الريح المذكورة حتى أهلكت زرعهم وأيبسته فظلمهم هو الريح التي أهلكت أعمالهم ونفقاتهم وأتلفتها

Dalam firman Allah, (yang artinya) “yang menimpa tanaman kaum yang mendzalimi diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.” Merupakan peringatan bahwa penyebab terpaan angin pada tanaman itu adalah kedzaliman mereka, sehingga tanaman itu menjadi rusak dan kering. Kedzaliman mereka itulah angin yang merusak amal mereka, infak mereka, dan menghancurkannya. (I’lamul Muwaqqi’in, 1/186-187)

Allah misalkan seperti seperti orang yang menanam tanaman, karena si petani telah mengeluarkan modal, mengeluarkan tenaga, waktu, dst. Bisa jadi, dia juga mengeluarkan dana untuk merawatnya… dengan harapan bisa mendapatkan hasilnya. Namun ternyata semuanya gagal, dan dia tidak mendapatkan apapun. Pelakunya mengalami kegagalan berkali-kali…

Demikian, Allahu a’lam.

Sumber: PengusahaMuslim.com


Filed under: Nasehat

Persatuan Lintas Manhaj & Aqidah

$
0
0

20479516_862392373923240_3662575466394296422_nUstadz Abdurrahman Thoyyib, Lc.

Hari demi hari semakin banyak ujian bagi dakwah salafiyah dan salafiyyin, baik dari dalam maupun dari luar. Semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas manhaj salafi sejati hingga akhir hayat nanti. Dan semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah kelompok-kelompok sesat kapan dan dimanapun kita berada. Aamin.

Diantara ujian tersebut adalah merasuknya virus kelompok Ikhwanul Muslimin (kelompok harakah/pergerakan) ke dalam relung manhaj sebagian yang mengaku sebagai dai salafi. Mulai dari meninggalkan atau tidak mengutamakan dakwah kepada tauhid uluhiyah (atau aqidah salaf), lebih mementingkan kuantitas (menarik massa sebanyak-banyaknya) daripada kualitas, menyeru kepada fiqih waqi’/realita (fiqih koran), ingin masuk ke ranah politik/parlemen, mengkritik pemimpin kaum muslimin di hadapan umum (di internet atau pun medsos).

Dan diantara virus mereka yang juga lagi semarak di akhir-akhir ini adalah bersatunya sebagian orang yang menisbatkan diri sebagai dai salafi (baik dalam menyusun organisasi/perkumpulan dakwah) dengan ahli bid’ah atau yang bukan di atas dakwah salafiyah atau yang punya pemikiran harakah (seperti fiqih koran, punya web yang suka mencela presiden RI dan suka menjadikan web kelompok Khawarij sebagai sumber informasi, menterjemahkan buku-buku dai harakah seperti ‘Aidh Al-Qarni dll) meski dilebeli dai salafi. Allahu al-musta’aan (kepada Allah lah kita memohon pertolongan). Bahkan bukan hanya bersatu namun mentokohkan mereka. Tanpa sadar mereka sudah terjangkiti virus kaidah ikhwaniyah “Kita tolong menolong dalam hal yang kita sepakati dan kita saling memberi udzur dalam hal yang kita perselisihkan”[1] . Hal ini semakin memperparah keadaan sebagian jamaah salafiyyin yang tidak bisa lagi membedakan mana da’i salafi sejati yang bisa diambil ilmunya dan mana da’i haraki yang berlebel salafi (alias salafi KW) yang tidak boleh diambil ilmunya. Maka benar apa yang dikatakan oleh salah seorang ikhwah ketika penulis bertanya kepadanya : Bagaimana pendapat antum tentang dakwah salafiyah di negeri kita sekarang ini? Beliau menjawab : Faudha/kacau. Wa ilallah al-musytaka (kepada Allah lah aku mengeluhkan keadaan ini).

Maka dalam rangka melaksanakan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam “Agama adalah nasehat”  kita akan nukilkan beberapa ucapan ulama dakwah salafiyah tentang hal ini. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi para pengibar bendera dakwah salafiyah dan bisa meluruskan yang bengkok serta mengembalikan mereka [2] ke jalan yang lurus dan membentengi yang lain dari virus-virus diatas dengan seijin dari Allah ta’ala :

1. Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid, Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan –semoga Allah merahmati mereka yang telah meninggal dunia dan menjaga yang masih hidup dari mereka-)

Pertanyaan : Sesuai dengan firman Allah :

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰ‌ۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِ‌ۚ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah : 2)

Ada yang mengatakan : Bahwa wajib untuk kita bersatu/bergotong-royong dengan semua kelompok-kelompok Islam meskipun berbeda dalam manhaj dakwah mereka. Karena manhaj kelompok jama’ah tabligh berbeda dengan manhaj kelompok ikhwanul muslimin atau hizbut tahrir, jama’ah jihad, atau salafiyin. Bagaimanakah aturan dalam kita bergotong-royong tersebut? Apakah hanya pada saat muktamar atau seminar bersama? Dan bagaimana cara menyeru selain kaum muslimin –dalam hal ini terdapat kerancuan dalam benak orang yang baru masuk Islam-? Karena setiap kelompok akan mengarahkan yang lain kepada markaz mereka dan kepada ulama mereka. Hal ini akan menyebabkan kebingungan dalam diri kaum muslimin? Bagaimana cara mengatasi hal ini?

Jawaban : Yang wajib adalah bersatu/bergotong-royong dengan kelompok yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf dalam berdakwah kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah kepada Allah, serta memperingatkan umat dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat, serta menasehati kelompok yang menyimpang. Jika mereka mau kembali kepada kebenaran maka kita bersatu/bergotong-royong dengan mereka. Namun jika mereka tetap dalam penyimpangan, maka wajib untuk menjauh darinya serta tetap berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Bergotong-royong dengan kelompok yang berpegang teguh dengan manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dalam berbagai bidang yang disitu ada kebaikan dan ketakwaan, baik dalam seminar, muktamar, kajian, dan setiap hal yang bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. [3]

2. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu pernah ditanya : Apakah mungkin (kelompok-kelompok kaum muslimin) bersatu dengan adanya perbedaan manhaj dan aqidah?

Beliau menjawab : Tidak mungkin bersatu dengan adanya perbedaan manhaj dan aqidah. Sebaik-baik bukti dalam hal ini adalah keadaan bangsa arab sebelum diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu mereka berpecah-belah dan saling bermusuhan. Ketika mereka masuk Islam dan dibawah bendera tauhid, aqidah mereka satu dan manhaj mereka satu maka bersatulah mereka dan berdiri negara mereka. Dan Allah mengingatkan mereka tentang hal ini lewat firman-Nya :

وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ إِخۡوَٲنً۬ا

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. (QS. Ali Imran : 103)

Dan Allah berfirman :

وَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِہِمۡ‌ۚ لَوۡ أَنفَقۡتَ مَا فِى ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعً۬ا مَّآ أَلَّفۡتَ بَيۡنَ قُلُوبِهِمۡ وَلَـٰڪِنَّ ٱللَّهَ أَلَّفَ بَيۡنَہُمۡ‌ۚ إِنَّهُ ۥ عَزِيزٌ حَكِيمٌ۬

Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (QS. Al- Anfal : 63)

Allah ta’ala tidak akan menyatukan hati orang-orang kafir dan yang murtad serta kelompok-kelompok sesat. Namun Allah hanya menyatukan hati orang-orang yang beriman yang bertauhid. Allah berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj Islam dan aqidah Islam :

تَحۡسَبُهُمۡ جَمِيعً۬ا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰ‌ۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٌ۬ لَّا يَعۡقِلُونَ

Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (QS. Al-Hasyr : 14)

وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ‌ۚ

Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. (QS.Huud : 118-119)

(Yang diberi rahmat) adalah mereka yang berpegang teguh dengan aqidah serta manhaj yang benar. Dan mereka lah yang selamat dari perselisihan tersebut.

Orang-orang yang berusaha untuk menyatukan manusia diatas kerusakan aqidah dan manhaj yang berbeda, mereka itu melakukan hal yang mustahil. Karena menggabungkan antara dua hal yang bertentangan termasuk suatu yang mustahil. Tidaklah yang menyatukan hati serta barisan (kaum muslimin) melainkan kalimat tauhid لا إله إلا الله . Jika memang dipahami maknanya serta diamalkan konsekuensinya. Bukan sekedar dilafadzkan saja tapi diselisihi kandungan isinya. Maka tidak lah bermanfaat kalimat tauhid tersebut.[4]

Beliau juga mengatakan : Tidak ada kelompok yang selamat kecuali hanya satu saja yaitu yang berjalan diatas metode Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau[5]. Inilah manhaj yang wajib bersatu diatasnya. Dan manhaj-manhaj yang menyelisihinya itu memecah belah dan tidak menyatukan….kita tidak boleh bersatu kecuali diatas manhaj salafush shalih.[6]

3. Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzahullahu ketika mengomentari kaidah ikhawaniyah diatas berkata : “Yang layak bahkan yang wajib bagi para pengikut da’i (yang menyeru kepada kaidah diatas) daripada mengamalkan kaidah tersebut untuk mengumpulkan semua kelompok-kelompok sesat bahkan yang paling sesat pula yaitu Rafidhah. Lebih baik dia mengamalkan kaidah cinta dan benci karena Allah. Yang dengan kaidah tersebut maka tidak ada ruang untuk dia memberi udzur (bersatu) dengan kelompok sesat dan yang menyelisihi ahlussunnah wal jama’ah.[7]

4. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu ketika berkata tentang jihad pertama di Afghanistan : Ketika masalah itu semakin rumit dan ini yang kita khawatirkan yaitu hizbiyah yang menyatukan sufi, syi’i, fasik dan shalih kemudian setelah itu (kalahnya uni soviet), mereka berperang sendiri untuk mendapatkan kedudukan. Karena pondasi persatuan mereka tersebut bukan pondasi keimanan yaitu tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada hukum Allah.[8]

5. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullahu berkata : Tidak boleh bagi pengikut kebenaran untuk bersatu dengan pengikut kebatilan. Tidaklah hal ini (persatuan antara semua kelompok) kecuali penipuan. Karena kemenangan tidak akan terwujud kecuali dengan kebenaran saja. Adapun kebatilan maka kita tidak boleh bersatu dengannya namun kita harus menjauhinya…..Adapun para pengekor hawa nafsu (kelompok sesat) mereka menginginkan untuk kita bersatu dengan mereka. Akan tetapi seorang penuntut ilmu salafi yang berjalan diatas agama Allah, diatas Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para salafush shaleh tidak boleh bersatu dengan mereka.[9]

Wallahu ta’ala a’lam

 ————————————

[1] Ini adalah kaidah yang batil dan sesat yang meruntuhkan aqidah wala’ dan bara’ ahlussunnah wal jamaah. Untuk mengetahui bantahan kaidah tersebut lihat kitab “Zajru Al-Mutahawin bi Dharari qaidah Al-Ma’dzirah wa At-ta’awun” oleh Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman dengan diberi muqaddimah oleh Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr.

[2] Terutama bagi yang hobi berorganisasi sangat diwajibkan memahami kaidah ini. Jangan hanya bermodalkan semangat mendirikan organisasi, yayasan, perhimpunan, perkumpulan atau apapun namanya sebelum memahami aturan mainnya yang sesuai dengan manhaj salafi.

[3] Dinukil dan diterjemahkan dari kitab Zajru Al-Mutahawin hal.131-132.

[4] Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an as-ilah al manahij al-jadidah no. 77 hal. 142-144.

[5] Namun jangan kita tertipu dengan slogan kelompok-kelompok yang beraneka ragam aqidah serta manhaj mereka yang mendengungkan slogan persatuan diatas Al-Qur’an dan al- sunnah dengan pemahaman para sahabat, tabi’in tapi tanpa bukti yang nyata dilapangan. Apakah termasuk manhaj salafush shalih seorang salafi bersatu dengan haraki hizbi, sufi dan masih banyak lagi?

[6] Idem no.78 hal.145-146.

[7] Zajrul Mutahawin hal.7-8.

[8] Maqtal Asy-Syaikh Jamil Rahman hal.19

[9] Ru’yah syar’iyyah lil fitan wa an nawaazil fi as-sahah al-iraqiyah hal.29-30 oleh Hasan Al-‘Iraqi.

Sumber: abdurrahmanthoyyib.com


Filed under: Aqidah, Manhaj

Penyakit itu Bernama Futur!

$
0
0

DGRSHssVoAAS8o2Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Adakalanya seorang penuntut ilmu, atau ahli ibadah merasa futur. Ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat yang lainnya. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus kepada hal lainnya.

Apa itu Penyakit Futur?

Futur yaitu: rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan, yang mana sebelumnya seseorang rajin dan bersemangat melakukannya. Futur adalah penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.

Di antara sebab-sebab munculnya penyakit futur adalah sebagai berikut :

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu Syar’i.
3). Kecintaan hati yang besar kepada dunia dan banyak melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dalam meraih kebaikan.
7). Melakukan dosa serta memakan makanan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan saudara seiman yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan.
11). Lemahnya pendidikan (tarbiyyahimaniyyah.

Kiat Mengobati Penyakit Futur

Allah mentakdirkan adanya penyakit futur, tentulah Allah memberikan obatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “Banyak penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam menuntut ilmu. Sarana apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?“. Beliau menjawab: “Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut ilmu agama (Islam) adalah salah satu musibah yang besar. Untuk mengatasi ini ada beberapa hal:

1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla dalam menuntut ilmu

Niat dalam melakukan suatu perbuatan (yang baik) tentunya harus ikhlas untuk Allah semata. Keikhlasan suatu niat sangat berpengaruh pada amalan-amalan yang kita lakukan. Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Sebagaimana dalam hadits disampaikan bahwa,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yanga hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian, dengan mengikhlaskan niat tersebut seseorang akan bearada pada tingkatan yang ketiga dari umat ini, lalu dengan itu semangatnya pun akan bangkit.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An Nisa: 69)

2. Selalu bersama dengan teman-teman yang semangat dalam menuntut ilmu

Teman merupakan orang yang sangat berpengaruh pada diri kita. Teman turut membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu dalam berteman hendaknya kita memilih teman-teman yang mampu mengantarkan kepada kebaikan. Teman-teman yang demikian dapat membantu kita dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu.

3. Bersabar, yaitu ketika jiwa mengajak untuk berpaling dari ilmu

Kesabaran akan mengantarkan kita kembali kepada ilmu dan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita terus berusaha bersabar agar penyakit futur itu segera hilang. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Tuhan mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini” (QS. Al Kahfi: 28).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu Syar’i. Menuntut ilmu Syar’i tidak bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah di atas kebenaran.

 

*****

Referensi:

Yulian Purnamahttp://www.muslim.or.idKiat Mengobati Futur Dan Malas Menuntut Ilmu Agama

Yazid bin Abdul Qadir Jawas. http://www.almanhaj.or.idPenuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa dan Waspada Terhadap Bosan

 

Penulis: Mawas Rizki Hidayanti

Muroja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Sumber: muslimah.or.id


Filed under: Akhlaq, Nasehat
Viewing all 750 articles
Browse latest View live